Awalnya Dikira Warung, Ternyata Ada Makam Kuno yang Diduga sebagai Orang Sakti Tertutup Kabut
JAKARTA, iNews.id - Ada banyak hal menarik yang bisa dijelajahi dan dapat menambah pengetahuan masyarakat. Tidak hanya peninggalan sejarah, Anda juga dapat melihat berbagai sejarah makam kuno para leluhur.
Menjelajahi makam kuno para leluhur kadang kala membutuhkan perjuangan ekstra. Bagaimana tidak, sebagian makam kuno tersembunyi di atas pegunungan.
Seperti misalnya komplek pemakanan kuno Watu Gilang. Jalan setapak bertanah yang sempit serta kabut tebal menghiasi sepanjang rute menuju kawasan tersebut, mau tidak mau harus dilalui.
Di Watu Gilang, ada satu makam yang terlindungi oleh cungkup atau bangunan persegi dengan atap. Konon, makam kuno yang tersembunyi di atas gunung itu merupakan peristirahatan terakhir dari Mbah Sumeo.
Beliau diyakini sebagai Ayah dari seorang Angling Dharma. Hanya makam Mbah Sumeo yang diberi cungkup, tak seperti makam kuno lain.

Ya, Watu Gilang tak hanya terdapat satu buah makam saja. Beberapa tokoh turut dikubur di pemakaman yang terletak di Desa Ngabab, Pujon, Kabupaten Malang.
Tokoh-tokoh yang dimaksud antara lain ada Runggowuni, Kyai Ageng Gringsing, Sutejo Anon, serta Rojo Mulyo. Lain dari Mbah Sumeo, makam mereka hanya berbentuk sepeti makam pada umumnya.
Jika dilihat dari YouTube Kuno Brono, suasana makam begitu sepi. Hanya terdengar suara riuh kicauan burung dan serangga. Area sekeliling ditutupi kabut dan terasa sangat dingin. Meskipun begitu, Watu Gilang tampak terawat dan bersih dari sampah.
"Saya mencari situs yang terletak di atas gunung. Saya berada di dalamnya kabut. Seperti ini untuk mencari situs, agar generasi penerus tahu," kata pemilik akun Kuno Brono.
Menurut Kuno Brono, saat menemukan bangunan tersebut, dia mengira jika itu adalah warung. Ternyata itu makam kuno yang diduga dulunya dikenal sakti.
Di sisi lain, situs Watu Gilang diyakini pernah menjadi benteng Kerajaan Singhasari ketika terjadi pertempuran melawan Kediri. Tembok setinggi 4 meter dan panjang 28 meter masih berdiri kokoh di sana.
Editor: Vien Dimyati