Desa Unik, Semua Warga Dilarang Petik Buah di Pekarangan Rumah Sendiri, Hukumannya Berat!
JAKARTA, iNews.id - Ada banyak keunikan desa-desa di Indonesia yang membuat siapa saja penasaran. Salah satunya desa di Bali yang satu ini melarang warganya untuk memetik buah.
Bagaimana pendapat Anda jika ada desa dengan aturan melarang warganya untuk memetik buah yang ada di pekarangan rumahnya sendiri? Atau bahkan tak memperbolehkan menjual tanah miliknya sendiri, menarik bukan?
Tetapi, hal ini benar-benar ada lho, yaitu di salah satu desa di Bali tepatnya di Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali. Lantas, kenapa warga dilarang untuk memetik buah di desa tersebut? Berikut ulasannya dirangkum pada Rabu (16/11/2022).
Tidak boleh petik buah di pekarangan rumah
Diketahui, Desa Tenganan memiliki aturan adat atau yang dalam bahasa Bali disebut dengan awig-awig, berlaku bagi seluruh masyarakat setempat. Masyarakat desa Pegringsingan dikenal memegang kuat awig-awig yang berlaku di desanya di mana hal ini berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat desa, dan memegang teguh serta menjalankan konsep Tri Hita.
Tri berarti tiga dan Hita Karana berarti penyebab kebahagiaan untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan. Tri Hita terdiri dari Parahyangan (hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya), dan Palemahan (hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya).
Tak heran jika ada beberapa aturan yang merepresentasikan konsep hidup masyarakat desa Pegringsingan. Seperti tidak memperbolehkan masyarakatnya untuk memetik buah-buahan yang telah matang dari pohonnya.
Mereka harus menunggu hingga buah-buahan tersebut jatuh ke tanah, jika dilanggar akan dikenakan denda 10 catu beras atau setara dengan 25kg. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pemerataan agar masyarakat Desa Pegringsingan menjadi pekerja keras.
Tidak boleh jual tanah
Sedangkan aturan kedua adalah tak memperbolehkan masyarakat desa Tenganan menjual atau menggadaikan tanahnya ke luar desa.
Apabila didapati melanggar aturan tersebut, yang bersangkutan akan dikenakan denda dua kali lipat dari harga tanah, setelah itu tanah akan menjadi milik desa adat. Secara turun temurun, masyarakat desa Pegringsingan memegang teguh aturan, tanah yang menjadi bagian dari desa ini tak boleh beralih fungsi.
Dalam aturan membangun rumah sekalipun tak boleh dilakukan secara sembarangan. Karena tanah yang dimiliki masyarakat desa Pegringsingan juga terdapat hak milik desa. Harus dibuat dengan luas yang sama dan struktur bangunan yang mirip bahkan susunan bahannya yang sama.
Dalam pekarangan harus ada “bale tengah” bagian atasnya dibuat jineng atau lumbung padi, sebelah Selatan dibangun “bale beten” sedangkan pada sisi Barat tempat dapur dan toilet.
Selain ketiga aturan tersebut, untuk memilih kepala desa atau calon pemimpin desa harus melalui proses mesabar-sabatan biu (perang buah pisang). Di mana calon prajuru menurut adat setempat telah dididik sejak kecil.
Tak cukup sampai di situ, adapun tradisi mageret pandan (perang pandan), di mana dua pasang pemuda akan bertarung di atas panggung dengan saling sayat menggunakan duri-duri pandan. Sebagai bentuk latihan rutin guna menciptakan kondisi masyarakat yang kuat secara fisik maupun mental.
Tempat wisata Desa Pegringsingan
Meskipun dikenal kuat dengan aturan adatnya, Anda bisa melihat lebih dekat kehidupan masyarakat di sini dengan cara mengunjungi Desa Pegringsingan, di mana setiap orang dikenakan harga tiket masuk sebesar Rp10.000. Namun harga dapat berubah sewaktu-waktu.
Berbelanja kerajinan tangan masyarakat Pegringsingan
Sebagian besar, penduduk Pegringsingan bekerja sebagai petani padi dan ada pula yang membuat aneka kerajinan. Beberapa hasil kerajinan tersebut seperti anyaman bambu, ukiran, dan lukisan di atas daun lontar yang telah dibakar, bahkan kain khas dari Pegringsingan.
Yang lebih istimewanya lagi, kain buatan masyarakat setempat ini menggunakan alat tenun dengan teknik tenun ikat ganda yang mana untuk melakukan teknik ini diperlukan keterampilan khusus untuk membuat satu helai kain tenun. Biasanya, memakan waktu 2,5 sampai 5 tahun, tergantung pada tingkat kesulitan motif kain.
Editor: Vien Dimyati