Kampung Unik di Sulawesi Selatan, Singgah ke Desa yang Dihuni Kerajaan Kecil, seperti Ini Suasananya!
JAKARTA, iNews.id - Kampung unik di Sulawesi Selatan selalu menarik untuk dijelajahi. Terutama jika singgah ke salah satu desa bernama Karampuang yang memiliki suasana masih alami dan asri.
Berada di sini, pengunjung akan takjub dengan suasana perkampungan adat yang memiliki rumah dengan bangunan unik atau rumah suku Bugis kuno. Kampung Adat Karampuang berlokasi di Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Kampung ini berjarak sekitar 45 km dari Kota Sinjai.
Ya, salah satu keunikan tersebut adalah dua rumah adat yang menarik perhatian masyarakat, yaitu rumah adat Karampuang yang merupakan rumah suku Bugis kuno. Rumah adat ini didiami oleh Kepala Pemerintahan Adat yang disebut oleh masyarakat Puang Gella. Kemudian, rumah adat kedua adalah rumah adat Raja atau disebut Puang Tomatoa.
Jika dilihat dari bentuknya, kedua rumah adat ini adalah kembar. Bentuknya seperti rumah panggung sederhana dengan atap jerami. Masyarakat di kampung adat Karampuang sangat menjunjung tinggi derajat wanita dan menganut matrilineal. Memiliki filosofi seperti tubuh manusia.
Tapi perlu diketahui, ada makna yang tersimpan di balik kedua rumah adat yang ada di kampung unik Sulawesi Selatan ini. Apa saja?
Penasaran ingin tahu seperti apa keunikan Kampung Adat Karampuang di Sinjai ini? Berikut ulasannya dirangkum pada Rabu (18/1/2023).
Ya, keunikan dari Kampung Adat Karampuang di Sinjai menarik untuk dijelajahi. Perkampungan ini identik dengan rumah-rumah adatnya yang unik. Puang Gella dan Puang Tomatoa merupakan rumah adat Karampuang yang menjadi daya tarik dari Kabupaten Sinjai.
Rumah adat kembar ini memiliki lambang seorang wanita. Hal tersebut dikarenakan tangga rumah adat Karampuang ada di tengah-tengah rumah yang melambangkan kemaluan perempuan. Kemudian, ada dua dapur yang memiliki simbolis dari payudara.
"Di sana, tiang-tiangnya diumpamakan sebagai baju, sedangkan ornamen di atas rumah menjadi antingnya. Lalu pintu rumah yang ada di antara dua tiang melambangkan kemaluan wanita atau pintu bunga mawar, karena merupakan tempat manusia pertama kali keluar dari rahim dan menghirup udara segar," tulis Instagram@anakpesisir.
Pernah dipimpin seorang perempuan
Rumah adat Karampuang melambangkan seorang perempuan. Konon, orang yang pertama kali memimpin daerah setempat adalah seorang perempuan yang memiliki enam saudara laki-laki. Rumah adat Karampuang yang pertama ada di puncak gunung Desa Karampuang, yang berdiri dengan satu tiang terbuat dari batang lombok. Saat ini sistem pemerintahan adat ada empat pemimpin adat yang bernama Arung (raja), Gella (perdana menteri), Sanro (menteri kesehatan), dan Guru (menteri pendidikan). Selayaknya kerajaan, di Kampung Karampuang pun ada istana bagi arung sang pemimpin. Nama kediamannya adalah Tomatua atau rumah tua yang dipercaya sudah ada sejak abad ke-17. Bentuknya seperti rumah panggung sederhana dengan atap jerami.
Dulunya, kawasan adat ini dipimpin oleh seorang wanita, sehingga membuat penduduk menganut sistem Matrilineal.
Tersembunyi di bawah gunung
Rumah adat Karampuang kedua (Puang Tomatoa) berdiri 50 meter di bawah gunung tempat rumah adat Karampuang pertama (Puang Gella). Rumah adat kedua ini berdiri dengan tiga tiang. Saat rumah adat Karampuang yang kedua terbakar, Puang Gella kemudian mendirikan rumah adat yang baru, karena pada saat itu ajaran Islam mulai masuk di daerah Karampuang, maka Puang Gella mendirikan rumah dengan 30 tiang sesuai dengan 30 jus yang ada dalam Alquran dan terdapat lima tiang di dalam rumah sesuai dengan lima rukun Islam, dan lima jendela. Semua rumah ini tetap memakai filosofi seorang Wanita. Material yang digunakan dalam membangun rumah adat semuanya di ambil dari hutan adat, saat mengambil hasil hutan harus dilakukan dulu upacara adat.
Sejarah Kampung Adat Karampuang
Kampung unik di Sulawesi Selatan ini memiliki sejarah panjang. Sama dengan daerah lain di Sulawesi Selatan, terbentuknya masyarakat adat Karampuang tak lepas dari kehadiran sosok misterius. Salah satunya To Manurung. Dia muncul dari atas bukit yang dikenal dengan nama Batu Lappa. Menurut cerita masyarakat, konon daerah sekitar Sinjai adalah lautan luas dengan sejumlah pulau-pulau atau daratan di tengahnya, termasuk Karampuang.
Daratan yang muncul dari lautan ini dinamakan cimbolo, yakni daratan seperti tempurung di atas permukaan air. Di puncak cimbolo ini diyakini awal mula muncul Manurung Karampulue yang bisa diartikan ‘seseorang yang karena kehadirannya menjadikan bulu kuduk berdiri’, kemudian berubah menjadi Karampuang.
Sejarah lainnya ada juga yang mengatakan, Karampuang berasal dari perpaduan kata 'Karaeng' dan 'Puang', karena daerah tersebut merupakan lokasi pertemuan antara Raja Gowa (Karaeng) dan Raja Bone (Puang) dalam peristiwa bersejarah di masa lalu.
Upacara adat Mappogau Sihanu
Mengutip melalui akun Instagram @harianto6300, upacara adat Mappogau Sihanua (Pesta Kampung) merupakan upacara adat terbesar yang dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat pendukung kebudayaan Karampuang. Acara ini berlangsung selama satu minggu pada November tahun berjalan. Pelaksanaan Pesta Adat Mappogau Sihanua Karampuang adalah perwujudan rasa syukur atas keberhasilan panen pertanian atau perkebunan, nilai pelestarian alam, dan nilai seni.
Karampuang memiliki banyak ritual-ritual adat yang rutin terlaksana setiap tahun di antaranya Mabbahang, mappaota, mabbaja-baja atau mappipaccing hanua, menre ri bulu’, mabbali sumange’, dan malling. Adapun nilai-nilai yang ada dalam upacara adat mappogau hanua di antaranya nilai solidaritas atau persatuan, nilai filosofis dan religi, nilai pelestarian alam, serta nilai seni.
Namun perlu diingat, jika tertarik untuk memasuki perkampungan ini dan singgah ke rumah adat. Ada satu ritual yang harus wajib dilakukan, yaitu tidak boleh masuk ke tempat wisata ini sebelum melakukan ritual seperti mengambil batu dan melempar daun. Ritual tersebut, seperti daun untuk menghormati para leluhur dan batu untuk menghormati masyarakat yang ada di kampung tersebut.
Editor: Vien Dimyati