Menelusuri Kampung China di Manado Membawa Pengunjung ke Masa Lalu
MANADO, iNews.id - Kawasan pecinan atau kampung China menjadi destinasi wisata kota di Manado, Sulawesi Utara. Menelusuri kawasan yang berada di jalan DI Panjaitan, Calaca, Kecamatan Wenang, Kota Manado, ini seperti membawa kembali ke masa lalu
Sederet bangunan tua yang umumnya ditempati etnis Tionghoa ini masih berdiri tegak. Klenteng Ban Hin Kiong dan Klenteng Kwan Kong menjadi tempat menarik untuk dikunjungi.
Apalagi ketika memasuki hari-hari raya umat. Pernak-pernik di klenteng menjadi daya tarik bagi wisatawan. Terdapat banyak spot foto instagramable di klenteng ini. Tentu, wisatawan lebih banyak dari hari-hari biasanya.
Di kawasan ini juga berdiri Klenteng Ban Hin Kiong yang merupakan klenteng tertua di Kota Manado. Klenteng ini berdiri pada 1819 dan hingga kini sudah menjadi ikon sejarah Kota Manado dan menjadi tempat ibadah umat Kong Hu Cu, Tao, dan Buddha.
Di seberang Klenteng Ban Hin Kiong, ada Klenteng Kwan Kong. Klenteng ini dibangun pada 1967. Nama klenteng ini diambil dari sang pahlawan jujur dan setia bernama Kwan Kong. Pada hari ke-24 bulan keenam, klenteng ini merayakan hari khusus. Momen tersebut merupakan ulang tahun yang suci Kwan Kong.
Tak sulit menemukan lokasi pecinan ini sebab berada di tengah-tengah kota. Ke sini bisa menggunakan angkot jurusan Pasar 45 atau taksi online. Dari bandara berjarak sekitar 20 kilometer. Di sekitar kawasan, banyak terdapat rumah makan atau kedai kopi.
Budayawan Tionghoa Sofyan Jimmy Yosadi menggatakan kawasan Kampung China ini sejak ratusan tahun sudah ada di daerah Kota Manado atau dulunya disebut Wenang. Awalnya kawasan ini masih berupa rawa-rawa, dibangun di belakang Benteng Fort Amsterdam yang didirikan bangsa Portugis dan Spanyol kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang namanya diubah menjadi benteng Fort Nieuw Amsterdam (Amsterdam Baru).
"Kemudian di belakang benteng oleh pemerintah Hindia Belanda dibangun pemukiman-pemukiman berdasarkan etnis. Ada China, Arab, termasuk Minahasa. Gunanya untuk mudah mengontrol sehingga pemerintah Hindia Belanda di mana-mana sejak Batavia sampai di beberapa daerah di nusantara adalah untuk mengontrol jadi dikumpulkan, sehingga di belakang benteng Ini lahirlah apa yang disebut pemukiman khusus warga Tionghoa yang namanya Kampung China di sebelahnya ada kampung Arab ada juga disebut dengan Kampung Tomohon dan ada bantik dan sebagainya," tutur Sofyan Jimmy Yosadi, Minggu (23/5/2021).
Sejak ratusan tahun itu kemudian ada kawasan yang rmerupakan kumpulan orang-orang Tionghoa dan dari sinilah kemudian dibangun Klenteng pertama di tanah Minahasa, Sulawesi Utara yang namanya adalah klenteng ban Hin Kiong. Kemudian kurang lebih catatan sejarahnya, artefak yang ada di dalam dokumen itu Klenteng ini dibangun pada 1700-an, tapi kemudian mengalami beberapa renovasi pembaruan kemudian renovasi yang paling besar-besaran itu ada pada 1918.
"Di sini ada pemimpin-pemimpin bangsa Tionghoa yang namanya kapiten China atau leutenant China yang juga merupakan pemimpin pemimpin yang Belanda dipilih untuk mengontrol orang-orang ini termasuk pajak - pajak dan akhirnya dibuatkan juga satu dewan yang namanya konghuan itu untuk mengelola klenteng Ban Hin Kiong dalam tata cara upacara," kata Sofyan.
Dari sinilah kemudian mulai bermukim banyak pendatang pendatang yang dari Tiongkok datang berbondong-bondong menetap di sini kemudian mulai menyebar dan sampailah pada saat ini kawasan ini masih disebut dengan Kampung Cina karena baik dari struktur bangunan maupun juga kemudian dibangun kelenteng-kelenteng berikutnya.
Di Kampung China kurang lebih ada lima klenteng. Kemudian berkembang pada 1955 dan dibangun lagi beberapa klenteng lain termasuk Klenteng Kong Zi Miao dibangun pada 2018 yang diperluas walaupun sudah ditempati sejak 1984.
"Kawasan kampung China sendiri sudah boleh dikata tidak lagi orang Tionghoa semua karena sudah akulturasi. di sini ada orang Arab yang tinggal ada orang Minahasa sudah campur baur, bahkan sudah terjadi asimilasi, kawin-mawin antar sesama etnis, jadi boleh dikata namanya saja Kampung Cina tapi walaupun masih ada 60 sampai 70 persen orang-orang Cina atau orang Tionghoa tapi boleh dikata sudah banyak juga orang lain yang bukan orang Tionghoa yang ada di kawasan ini," ujar Sofyan.
Editor: Dani M Dahwilani