Mengenal Keunikan Gereja Santa Maria de Fatima di Pecinan Jakarta, kini Jadi Tempat Wisata
JAKARTA, iNews.id - Ada banyak bangunan kuno di Indonesia yang memiliki sejarah menakjubkan untuk ditelusuri. Salah satunya adalah Gereja Santa Maria de Fatima.
Gereja Santa Maria de Fatima merupakan bangunan gereja yang terletak di kawasan Glodok. Pada zaman dahulu dikenal sebagai kawasan pecinan.
Berbeda dengan bangunan gereja pada umumnya, Gereja Santa de Fatima memiliki bangunan yang unik, dengan perpaduan khas budaya Tionghoa yang cukup kental. Arsitekturnya cenderung mirip dengan klenteng.
Nama gereja Santa Maria de Fatima diambil dari cerita tentang penampakan Bunda Maria kepada tiga anak gembala di Fatima, Portugal. Cerita itu tergambar dalam relief Gua Maria yang terletak di sisi kanan gereja.
Arsitektur bangunan Gereja Santa de Fatima
Gereja Santa de Fatima adalah gereja Katolik yang masih mempertahankan gaya bangunan khas Fukien atau Tiongkok Selatan. Ornamen dengan perpaduan warna merah, kuning, dan emas mendominasi bangunan. Lengkap dengan dua patung singa atau patung kilin yang diletakkan pada bagian bangunan utama, yang melambangkan kemegahan.
Bentuk ornamen Tionghoa pada gereja Santa Maria de Fatima didominasi oleh garis-garis yang melengkung. Garis- garis melengkung tersebut menimbulkan kesan dinamis dan tidak terlihat kaku.
Pada bagian atap, tertera banyak tulisan dalam bahasa mandarin yang memohon kebaikan dan keberuntungan. Salah satunya adalah tulisan yang terdapat pada atap bagian depan gereja Santa Maria de Fatima, yang bertuliskan Li Fu yang berarti keberuntungan dan Xiang Tang, yang tidak menunjukkan arti apa pun. Bangunan gereja dibangun pada abad ke-19 dan ditetapkan sebagai cagar budaya pada tahun 1972.
Awal mula dibangun gereja
Tujuan awal dibangunnya Gereja Santa Maria adalah saat adanya tugas pelayanan dan pewartaan dari Vikaris Apostolik Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasapoetra SJ kepada Pater Wilhelmus Krause Van Eeden SJ. Selain digunakan sebagai tempat ibadah, bangunan ini juga dijadikan sekolah, sekaligus asrama bagi orang-orang Hoakiau (China Perantau) yang berada di sekitar Glodok.
Pada 1953, dibeli sebidang tanah dengan luas 1 hektare untuk dijadikan kompleks gereja dan sekolah dari seorang kapitan (lurah yang berkuasa di daerah pecinan, masa itu) bermarga Tjioe, pada tahun 1954 tanah dan bangunan itu resmi menjadi milik gereja. Pada tahun 1955, bangunan ini resmi dijadikan sebagai gereja Katolik.
Editor: Vien Dimyati