Mengenal Lokasi Peradaban Manusia Purba melalui Lomba Lari Malam di Sangiran
JAKARTA, iNews.id - Ada banyak hal menarik di Jawa Tengah yang bisa dijelajahi wisatawan. Salah satu yang populer adalah Sangiran, situs paleoantropologi yang terlengkap di Indonesia dan terkenal di dunia.
Bahkan, UNESCO telah mengakui keberadaan situs Sangiran sebagai salah satu warisan budaya dunia sejak Desember 1996. Adapun temuan di situs Sangiran antara lain fosil Pithecanthropus Erectus. Ada pula fosil Meganthropus Palaeojavanicus.
Fosil yang ditemukan menjadi bahan sebagai penelitian mengenai jejak keberadaan manusia sejak 150 ribu tahun yang lalu. Kali ini, dalam mengenalkan keunikan dari Sangiran, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan (PPK), didukung Direktorat Perfilman, Musik, dan Media (PMM) serta Direktorat Museum dan Cagar Budaya (PMM) bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar kembali menggelar SangiRun Night Trail pada 4 - 5 November.
Sangirun 2023 adalah kegiatan lari malam di atas tanah yang menyimpan sejarah evolusi manusia. Pelari hanya diterangi cahaya bulan dan obor seadanya yang dihiasi teknologi instalasi cahaya dan diramaikan dengan pertunjukan budaya.
"Pastikan wisatawan datang ke Sangirun 2023 pada 4 dan 5 November 2023," kata Dirjen Kemendikbudristek Hilmar Farid di Jakarta, Rabu (25/10/2023).
Lantas, apa saja keunikan dari Situs Sangiran yang harus diketahui wisatawan?
Lari Mengalami Evolusi
Bipedalisme (berjalan dengan dua kaki), mengubah cara bergerak, termasuk berlari. Beberapa fosil Homo menunjukkan ciri bipedal mirip manusia modern. Bipedalisme adalah perubahan penting dalam evolusi manusia yang awalnya hidup dengan empat kaki. Dimulailah keterampilan baru, berlari dengan posisi tubuh berdiri tegak. Bipedal memaksa beban tubuh terkonsentrasi di bagian tengah. Makhluk horizontal menjadi vertikal, quandropedal menuju bipedal.
Situs Sangiran
Lokasi penemuan situs purbakala tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, Indonesia memiliki situs manusia purba yang dianggap terbesar dan terpenting di dunia, yaitu Situs Sangiran, yang terletak di kaki Gunung Lawu, sekitar 15 km dari lembah Sungai Bengawan Solo. Para peneliti menganggap Sangiran sebagai pusat peradaban besar dan lengkap manusia purba di dunia karena memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun lalu. Situs ini menyimpan kekayaan fosil-fosil purbakala, mulai dari fosil manusia purba, binatang-binatang purba, hingga hasil kebudayaan manusia pra-aksara.
Lokasi Situs Sangiran
Situs Sangiran terletak di dua wilayah kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Sragen dan Karanganyar, dengan luas mencapai 59,21 kilometer persegi. Wilayah Sangiran memiliki karakteristik berbentuk menyerupai kubah raksasa dengan cekungan besar di pusat kubah akibat peristiwa erosi. Lembah Sangiran itu diwarnai dengan perbukitan bergelombang. Kondisi deformasi geologis inilah yang menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan batuan yang mengandung fosil-fosil purbakala.
Running Back Home
Running Back Home awalnya adalah kubah besar yang memiliki cekungan raksasa yang terbentuk karena erosi di bagian puncaknya. Ditemukan tahun 1883 dan ditetapkan sebagai Early Man Site penting pada 1996 oleh UNESCO, Sangiran disejajarkan bersama situs Zhoukoudian (Cina), Willandra Lakes (Australia), Olduvai Gorge (Tanzania), dan Sterkfontein (Afrika Selatan). Bahkan dianggap lebih baik dalam penemuan, karena hingga saat ini telah ditemukan lebih dari 100 individu homo erectus, yang mengukuhkan Sangiran sebagai kontributor manusia purba terbesar di dunia. Lebih dari 50 persen homo erectus yang ditemukan di dunia diwakili homo erectus Sangiran.
"Sebagai salah satu situs penting yang menjelaskan asal-usul kehadiran manusia di dunia, maka tugas bagi kita untuk memperkenalkan Sangiran, sekaligus mengabarkan kepada dunia betapa bernilainya situs ini, sehingga kita perlu menjaga, menyelamatkan dan melestarikan situs yang menjadi “missing-link” dalam proses evolusi manusia ini," kata Hilmar.
Editor: Vien Dimyati