Mengenal Situs Sejarah Candi Bahal Paluta, Terbesar di Sumatera Utara
PADANG LAWAS UTARA, iNews.id - Ada banyak bangunan candi yang memiliki pemandangan eksotis wajib untuk dijelajahi. Terutama bagi Anda gang menyukai sejarah. Tidak ada salahnya Anda berkunjung ke Sumatera Utara menikmati keunikan candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
Apabila Anda sedang berada di Sumatera Utara, tepatnya di Padang Lawas Utara (Paluta), singgahlah ke candi kuno bersejarah peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini, yang jaraknya sekitar 10 - 12 jam perjalanan dengan kendaraan mobil dari Kota Medan ke lokasi ini.
Candi ini disebut Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi. Dinamakan demikian berkat lokasinya, bangunan ini diperkirakan telah ada selama ribuan tahun dan dibangun pada abad ke-11. Sebenarnya, masih belum jelas apakah candi ini dibangun oleh Raja Hindu Shiva dari Tamil di India Selatan atau oleh Kerajaan Pannai yang merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya.
Menurut para peneliti, tiga bangunan candi yang terdapat di Bahal adalah bagian dari 26 candi yang tersebar di seluruh Padang Lawas Utara. Ketiga bangunan – Candi Bahal I, II, dan III – berjarak kira-kira 500 meter. Di dekat sana, sekitar beberapa kilometer jauhnya, juga terdapat candi lainnya yang disebut Kompleks Candi Pulo. Candi Bahal ini terletak di tepi Sungai Batang Pane, yang dikatakan pernah menjadi jalur transportasi yang penuh aktivitas ekonomi masyarakat pada waktu itu. Sayangnya, sekarang ini sungai tersebut tidak lagi bisa dilewati kapal dagang karena sudah tertimbun lumpur.
Kompleks Candi Bahal juga terkenal sebagai kompleks candi terbesar di Sumatera Utara. Ketiga candi dibangun dari batu bata merah; seperti candi-candi di Jawa Timur, sementara patung-patung di dalamnya diukir dari batu pasir. Masing-masing candi dikelilingi tembok bata tebal setinggi 1 meter, dengan pintu gerbang di bagian timur dan memanjang ke luar dengan tinggi dinding 60 cm di kedua sisi. Di tengahnya, terdapat candi utama dengan pintu masuk yang menghadap gerbang.
Pusat kompleks candi ini yaitu Candi Bahal I, yang merupakan candi utama dan berukuran lebih besar daripada kedua candi lainnya. Arsitektur candi ini mirip dengan Candi Jabung di Probolinggo, Jawa Timur, dengan pondasi, kaki, badan, dan atap yang semuanya terletak di atas dasar persegi panjang berukuran kira-kira 7 meter. Masing-masing candi berbeda-beda dan dihiasi dengan berbagai arca Hindu dan Buddha. Setiap hari Waisak, banyak umat Buddha yang datang ke candi ini untuk beribadah.
Beberapa ahli yang sudah melakukan riset penting di Candi Bahal antara lain Franz Junghun (1846), Von Rosenberg (1854), Kerkhoff (1887), Stein Callenfels (1920 dan 1925), De Haan (1926), Krom (1923), dan F.M. Schinitger yang dikenal berjasa mengungkap sejarah kepurbakalaan di Sumatera.
Arkeolog Jerman F.M. Schinitger tahun 1935 meneliti candi ini berdasarkan prasasti Tanjore yang berbahasa Tamil dan dibuat oleh Raja Coladewa dari India Selatan tahun 1030. Raja ini menaklukkan Pannai merujuk catatan I-tsing. Schinitger menyimpulkan candi ini berkaitan dengan agama Buddha aliran Wajrayana yang berbeda dengan ajaran Buddha sekarang. Hal ini yaitu berciri bengis melihat pada arca berwajah raksasa dengan raut muka menyeramkan.
Begitu pula relief pada dinding candi yang menggambarkan raksasa yang sedang menari dengan tarian tandawa. Ciri-cirinya beringas, bengis, dan cenderung dekat pada upacara-upacara yang sadis. Hal ini diperkuat pula dengan informasi dari beberapa tulisan pada lempengan emas maupun batu yang ditemukan.
Di runtuhan Candi Bahal II ditemukan Arca Heruka, satu-satunya jenis arca sejenis di Indonesia. Penggambarannya sangat sadis dengan setumpuk tengkorak dan raksasa yang sedang menari-nari di atas mayat.
Bambang Budi Utomo, seorang peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengatakan, tangan kanan (raksasa itu) diangkat ke atas sambil memegang vajra sedangkan tangan kiri berada di depan dada sambil memegang mangkuk tempurung kepala manusia”.
Dalam aliran Buddha Wajrayana ada upacara tantrayana yang digambarkan sebagai tindakan sadis di mana tidak lepas dari mayat dan minuman keras. Ada juga upacara bhairawa yang dilakukan di atas ksetra, lapangan tempat menimbun mayat sebelum dibakar. Di tempat ini mereka bersemedi, menari-nari, meramalkan mantra, membakar mayat, minum darah, dan tertawa-tawa sambil mengeluarkan dengus seperti kerbau.
Tujuannya agar bisa kaya, panjang umur, perkasa, kebal, dapat menghilang, dan menyembuhkan orang sakit. Agar lebih sakti, mereka berulang-ulang merapal nama Buddha atau Bodhisattwa. Ini dipercaya orang Wajrayana di Padang Lawas untuk membuat perasaan tenang atau mendapat mukjizat dilahirkan kembali atas kekuasaan Dewa yang dipuja (konsep reinkarnasi).
Pada dinding candi, dapat kita temukan relief-relief yang menggambarkan penari dan raksasa, serta kisah Sang Buddha. Akan tetapi, terdapat juga Arca Gayatri di candi ini yang jelas mewakili umat Hindu. Di sini kita bisa merasakan harmoni dan pengaruh Buddha dan Hindu yang berpadu sempurna. Jika masyarakat zaman dulu bisa rukun dalam kehidupan beragama, sampai-sampai berbagi tempat beribadah, kenapa kita tidak? Yuk, mari lestarikan tempat-tempat bersejarah seperti Candi Bahal ini agar generasi selanjutnya dapat belajar dari sejarah.
Candi Bahal sudah resmi dijadikan sebagai objek wisata oleh pemerintah setempat yakni Pemerintah Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara. Tempat ini hanya ramai pada saat-saat tertentu seperti hari libur, Lebaran, atau Tahun Baru. Pengunjungnya adalah masyarakat Luar daerah maupun desa sekitar Padang Bolak dan Barumun.
Editor: Vien Dimyati