Ternyata Ini Alasan Masyarakat Desa Sade Mengepel Lantai Rumah Pakai Kotoran Sapi
MATARAM, iNews.id - Selalu ada pemandangan menarik di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dapat dijelajahi wisatawan. Berlibur di Lombok, sejatinya tak melulu soal keindahan pantai dan alam. Lombok juga menyimpan banyak kebudayaan yang unik termasuk Desa Sade yang berada di kawasan Rembitan, Kecamatan Puju, Lombok Tengah.
Desa ini merupakan desa tradisional yang ditinggali oleh suku asli Lombok, Sasak. MNC Portal Indonesia pun berkesempatan untuk mengunjungi desa wisata tersebut saat media trip bersama tiket.con di Lombok pada 20 Juni 2021.
Saat berkunjung ke sini, mata akan langsung disuguhi pemandangan rumah tradisional yang masih bertahan di antara bangunan modern di sekitarnya. Melihat lebih dekat, atap rumahnya masih menggunakan alang-alang kering yang bisa bertahan sampai 8 tahun.

Kemudian, bangunan rumahnya masih menggunakan anyaman bambu. MNC Portal juga berkesempatan untuk melihat bagian dalam rumah tradisional tersebut.
Saat memasuki rumah juga kepala harus sedikit menunduk. Selain karena atapnya yang rendah, itu juga menjadi bentuk menghormati.
Setiap rumah terdiri dari sekira dua ruangan, di mana satu ruangan digunakan untuk menerima tamu, menyimpan barang-barang dan tempat tidur. Kemudian ruangan lainnya di bagian belakang digunakan untuk dapur.
Untuk lantainya juga menggunakan tanah liat yang dirawat dengan kotoran sapi.
Menurut Ketua Forum Guide Lokal, Bobi, masyarakat desa setempat mengepel rumah dengan kotoran sapi selama seminggu sekali.
"Sebenarnya ada alasannya kenapa pakai kotoran sapi karena disucikan oleh masyarakat setempat. Dan juga sebagai penangkal dari bahaya (tolak bala). Aromanya juga kalau sudah kering tidak bau dan menimbulkan aroma yang khas," katanya.
Selain rumah-rumah tradisional, sepanjang jalan juga terlihat banyak kerajinan tangan yang dijajakan dari mulai kain tenun hingga gelang. Ini juga menjadi mata pencaharian utama perempuan di desa ini.
"Di sini juga (kebanyakan) mata pencahariannya petani, tapi hanya setahun sekali (panennya). Lalu perempuan umur 9 tahun juga disini harua bisa menenun dulu baru boleh menikah," kata Bobi.

Untuk penerangan desa tersebut juga masih sangat tradisional, mereka menggunakan lampu minyak dan kerang yang disangga kayu sebagai wadahnya.
Menariknya lagi, di Desa tersebut juga masih mengedepankan perkawinan dengan garis keturunan yang sama. Biasanya mereka menikah dengan sepupu.
Tak hanya itu, mereka juga menikah dengan tradisi kawin lari. Menurut Bobi hal tersebut untuk melestarikan tradisi suku Sasak.
"Justru kalau melamar itu melawan adat dan tidak melestarikan tradisi. Kalau laki-laki yang sulung menikah, mereka pergi dan buat kampung lagi. Kalau yang terakhir masih bisa tinggal di desa yang sama," katanya.
Editor: Vien Dimyati