Terungkap, Ternyata Sosok Ini yang Ratakan Bukit untuk Bangun Candi Borobudur
JAKARTA, iNews.id - Pesona keindahan yang ada di Candi Borobudur selalu memikat wisatawan untuk berkunjung. Candi Buddha terbesar ini memiliki bangunan megah.
Namun, belakangan ini sedang ramai mengenai rencana kenaikan tiket masuk Candi Borobudur menjadi Rp750.000. Terlepas dari pro kontra kenaikan harga tiket masuk, masyarakat juga perlu mengetahui mengenai sejarah dibangunnya Candi Borobudur.
Lantas, seperti apa sejarah berdirinya Candi Borobudur? Berikut ulasannya dirangkum pada Selasa (7/6/2022).
Candi Borobudur merupakan satu dari ratusan peninggalan candi di Indonesia. Candi ini dibangun di masa Kerajaan Mataram Kuno di masa Wangsa Syailendra. Raja Samaratungga merupakan pelopor pembangunan candi besar di Indonesia yang kini masuk peninggalan budaya oleh Unesco dan menjadi salah satu bangunan keajaiban dunia.
Sosok Raja Samaratungga memang tak banyak yang tahu. Namanya mungkin tak seterkenal Prabu Siliwangi, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada, tapi peninggalannya cukup bisa membuat takjub hingga kini.
Sosok Raja Samaratungga muncul dari Prasasti Kayumwungan yang dikeluarkan oleh Rakai Patapan Mpu Palar.
Sebagaimana dikutip dari buku "13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa" tulisan Sri Wintala Achmad, prasasti tersebut merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh raja bawahan Samaratungga.
Konon Candi Borobudur yang dibuat Raja Samaratungga di Dinasti Syailendra dari Kerajaan Mataram Kuno, harus meratakan bukit untuk membuat candi ini. Sang raja pembuat Candi Borobudur, merupakan raja yang dikenal sebagai raja spesialis pembuat candi di pegunungan.
Tak ada yang tahu kenapa sebutan raja pegunungan disematkan kepada Syailendra, namun karya - karya bangunan candi dan tempat suci yang dibangun di tempat - tempat tinggi atau perbukitan, konon menjadi penyebabnya.
Sang raja yang terkenal dengan kesaktian dan kekuatannya berhasil membuat monumen kala itu yang terletak di utara Yogyakarta. Dia membuat bangunan yang menutupi bagian atas bukit yang telah dibentuk menjadi serangkaian teras. Lantai dan dinding penahannya ditutup dengan batu.
Menariknya dituliskan Vlekke pada bukunya "Nusantara Sejarah Indonesia", puncak bukit tersebut sengaja diratakan dan dengan demikian dibuat terlihat seperti atap rata, bangunan besar. Di pusat atap ini berdiri stupa yang berisi, atau dikira berisi, satu patung Buddha.
Di sekeliling stupa inti ini ada banyak stupa batu kecil berhias yang ada di dalamnya berisi patung - patung Dhyani - Buddha. Dinding - dinding teras tertutup dengan pahatan.
Sosok Samaratungga, sebagaimana diungkapkan sejarawan Slamet Muljana merupakan anak dari Raja Mataram Samaragriwa yang pernah memerintah Medang pada tahun 800 - 812 Masehi. Pendapat Slamet Muljana ini dikuatkan dengan Prasasti Pongar yang dikeluarkan pada tahun 802 Masehi. Prasasti tersebut menyebutkan Kamboja berhasil melepaskan diri dari penjajahan Jawa.
Pelepasan Kamboja dari kekuasaan Jawa tersebut melatarbelakangi Samaragriwa kemudian membagi wilayah kekuasannya untuk kedua putranya Samaratungga dan Balaputradewa. Samaratungga mendapatkan wilayah di Jawa (Medang), sedangkan Balaputradewa mendapatkan wilayah di Sumatera.
Sebelum menjadi raja di Medang, Samaratungga terlebih dahulu menjadi kepala daerah Garung yang bergelar Rakryan i Garung atau Rakai Garung. Samaratungga sendiri naik tahta dan bergelar Sri Maharaja Samaratungga.
Semasa menjadi raja, Samaratungga menikahkan putrinya Pramodawardhani dengan Mpu Manuku dari Wangsa Sanjaya yang menjabat sebagai penguasa daerah Patapan pada 807 M berdasarkan Prasasti Munduan.
Saat menjabat sebagai raja pula Samaratungga membuat bangunan bernama Candi Bhumisambhara, yang merupakan nama lain dari Candi Jinalaya. Samaratungga memercayakan arsitek Gunadharma.
Selain itu, Samaratungga melibatkan Kumarabacya dari Gandhadwipa (Bangalore) dan Visvawarman, yang merupakan ahli ajaran Buddha Tantra Vijrayana dari Kashmir, India. Pendapat adanya kisah pendirian Candi megah itu juga sejalan dengan Prasasti Kulrak yang dikeluarkan pada tahun 784 M.
Editor: Vien Dimyati