“Jadi pembayaran itu bukan kepada Bulog Rp16 triliun itu, tapi mengganti biaya yang dikeluarkan kepada Bulog, termasuk atau bentuk konkritnya adalah mengganti ke bank, di mana uangnya kita pakai untuk melaksanakan operasional tadi,” paparnya.
“Karena waktu Bulog melakukan pembelian kita pinjaman dari bank, jadi uangnya sebenarnya kembali ke banknya,” lanjut dia.
Untuk diketahui, Bulog menggelontorkan beras di bawah harga pasar alias murah. Penjualan ini melalui operasi pasar atau Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Misalnya, Bulog diminta menjual beras senilai Rp10.900 per kg padahal harga beras komersial berada di angka Rp12.000 atau Rp11.800 per kg. Dari sini, terdapat selisih harga yang nantinya disubsidi oleh pemerintah.
“Mungkin terjadi, HPP-nya lebih daripada Rp10.900 karena biaya beras sudah mahal, ditambah biaya-biaya lain. Misalnya, sebut aja Rp12.000 atau Rp11.800 biaya pokok. Jadi Bulog disuruh menjual kepada masyarakat Rp10.900, tapi harga pokoknya Rp11.800, jadi selisih. Selisih itu disubsidi oleh pemerintah,” tutur Bayu.