Sebab kenaikan bunga KPR ini bakal mempengaruhi penyaluran likuiditas perbankan khususnya disektor properti. Karena masyarakat bakal berfikir ulang atau menunda pembelian properti jika harus membayarkan bunga yang terlalu tinggi.
Selain itu sebelum adanya pengumuman suku bunga acuan BI, harga properti juga mengalami penyesuaian akibat adanya kenaikan harga material bahan bangunan dan ongkos energi. Solar yang menjadi bahan bakar untuk membawa material saja naik sekitar 32%, BBM bersubsidi lain seperti pertalite juga bersamaan menyusul keniakan sekitar 31 persen.
Sehingga menurut Panangian, menjadi cukup riskan untuk bisnis usaha perbankan maupun pengembang jika melakukan penyesuaian bunga yang tinggi untuk sektor properti.
"BI memberikan kebijakan atau signal kepada bank untuk sama-sama bertindak bijak, kalau (suku bunga) 0,5 persen diterima (bank), paling disampaikan kepada konsumen 0,25 persen, atau setengahnya," kata Panangian.
Direktur Eksekutif CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira menambahkan kenaikan bunga KPR akan berdampak pada lebih jauh pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Karena sektor properti menjadi semacam lokomotif yang menarik banyak sektor industri dibelakangnya. Bukan hanya membangun rumah, tetapi membutuhkan peralatan rumah tangga maupun hiasan rumah yang dihasilkan oleh UMKM di Indonesia.
"Sementara konsumen tidak semua siap jika bunga KPR untuk floating rate naiknya bisa 1-3% dari sebelum penyesuaian suku bunga acuan. Demand untuk segmen kelas menengah di sektor perumahan bisa terkoreksi, Alhasil banyak anak muda makin sulit menjangkau rumah," tutur Bhima.