Meskipun pemerintah menyebut bahwa rasio utang masih dalam taraf aman di 40 persen, Didik mengatakan hal ini benar jika hanya dihitung dari utang ini saja. Sebab, kata dia, ini belum menghitung utang yang lain, misal utang BUMN, utang pemerintah daerah, dan yang lainnya, bisa mencapai 70 persen.
Di Jepang misalnya, meski rasio utang sampai 200 persen dari PDB, bunganya hanya 0,2 persen. Di sisi lain, Indonesia memiliki bunga mencapai 6,5 persen.
Sehingga, kalau seandainya Jepang berutang hingga Rp7.000 triliun seperti Indonesia, maka yang dibayar setiap tahun hanya Rp14 triliun. Sementara Indonesia, membayar utangnya bisa mencapai Rp350-400 triliun per tahunnya, meskipun itu hanya bunga.
"Siapa yang menikmati? Ya orang-orang kaya itu, termasuk perbankan karena mereka membeli obligasi. Mereka tak perlu bekerja karena mendapat uang dari pajak. Nah kenapa? Ini yang ugal-ugalan," ucap Didik.
Dia juga menyinggung rencana penerbitan utang di 2024 sebesar Rp1.300 triliun.
"Yang spektakuler waktu Covid-19, nah sekarang pembayaran bunga dan pokok bisa mencapai Rp1.000 triliun, seperti di 2023 ini kira-kira. Dalam pandangan saya, ini sudah menjadi penyakit dalam APBN kita," kata dia.