Dia menunjuk pada kontrol militer yang luar biasa atas semua institusi lain sebagai faktor kunci. Menurutnya, pembentukan militer negara terus menyudutkan sumber daya yang tidak proporsional, dengan mengorbankan warga biasa, di mana Pakistan pada tahun lalu memangkas anggaran infrastruktur dan pendidikan, sementara anggaran militer naik 11 persen.
"Wacana publik mungkin menyematkan kesulitan ekonomi pada satu demi satu pemerintahan, tetapi mereka yang benar-benar bertanggung jawab adalah kelas orang yang secara permanen berkuasa," ujarnya.
Seorang rekan senior non-residen di Dewan Atlantik, Kamal Alam menggambarkan kelas penguasa yang disfungsional selama beberapa dekade telah menyalahgunakan dana dan mencegah reformasi penting.
"Terperosok dalam korupsi politik, militer, feodal, Pakistan kini negara yang hanya bertahan karena kemurahan hati Saudi, China, UEA, dan AS. Akhirnya para donatur juga kehabisan kesabaran karena kurang transparannya dampak dari donasi mereka yang sebenarnya," tutur Kamal.
Arab Saudi yang kaya minyak telah menjadi sekutu lama Pakistan, yang sering membantunya secara finansial. Tapi sekarang Saudi menuntut transparansi tentang tata kelola dan korupsi sebelum memberikan bantuan.
Sementara Pakistan mengalami bencana banjir pada Juni 2022, yang membuat sepertiga negara itu tenggelam, mempengaruhi 33 juta orang dan menyebabkan kerusakan dan kerugian ekonomi miliaran dolar AS. Ini dikombinasikan dengan masalah ekonomi akibat dampak Covid-19 yang berkepanjangan menyebabkan Bank Dunia pada awal Januari lalu menurunkan proyeksi pertumbuhan Pakistan 4 persen menjadi 2 persen pada tahun ini karena situasi ekonomi yang genting, cadangan devisa menipis serta defisit neraca berjalan dan fiskal yang besar.
Selain Arab Saudi, China juga kerap memberikan pinjaman ke Pakistan. Menurut IMF, lebih dari 30 persen dari total utang luar negeri Pakistan adalah utang ke China. Itu tiga kali lipat utang Pakistan kepada IMF dan lebih dari pinjamannya dari Bank Dunia dan ADB.