"Perubahan customer behaviour, mereka ingin lebih cepat dan praktis serta delivery cepat. Dan semua berakar dari internet ini," ucapnya.
Pada tahun 2018 ini, pengusaha ritel tidak berharap muluk-muluk untuk mencapai pertumbuhan. Pasalnya, untuk menggapai angka dobel digit akan sangat sulit karena perilaku belanja masyarakat yang sudah mulai bertransformasi ke arah digital atau online.
"Bisa 9 persen saja sama seperti 2016 sudah syukur atau omzetnya sekitar Rp250 triliun. Kita memang belum bisa mendongkrak pada angka dobel digit," katanya.
Roy sendiri sudah melihat para anggotanya yang kini sudah mulai beralih usaha ke perdagangan elektronik. Hanya segelintir saja yang bertahan dengan penjualan offline. Dan itu terjadi di kabupaten/kota yang masih menganut penjualan konvensional.
"Transforming retail, kita harus transform tidak bisa offline berdiri sendiri. Untuk yang 5 sampai 6 persen masih comfort atau tidak mau memasuki zona online. Karena ini merupakan toko serbaada atau toko kelontong yang sudah turun temurun. Jadi, masih yakin dengan penjualannya," ujarnya.
Dia juga menjelaskan, banyaknya ritel-ritel yang tutup dalam beberapa tahun terakhir karena mencari alternatif bisnis lain yang lebih diinginkan masyarakat. Bisnis-bisnis ini berkaitan dengan kegiatan leisure yang memang sangat pesat perkembangannya.
"Jadi, mereka tutup bukan berarti bangkrut. Mereka ini rata-rata melakukan relokasi melihat perkembangan zaman. Jadi, yang tadinya market saja, kini ditambah ada kafenya. Ya lebih ke arah lifestyle. Apalagi banyak anak muda yang paling hobi leisure," katanya.