Pada kesempatan tersebut, Hashim memaparkan salah satu strategi untuk menekan penggunaan utang selama pemerintahan Prabowo mendatang dengan cara menambal 'kebocoran' pajak. Cara ini dengan mengejar wajib pajak untuk taat melakukan kewajibannya untuk membayar pajak.
Dengan menambal kebocoran tersebut, negara akan mendapatkan pendapatan lewat pajak. Pembiayaan terhadap program-program atau pembangunan bisa ditanggung lewat kapasitas fiskal negara tanpa harus berhutang.
"Maka ide kita, kita menutup kebocoran-kebocoran, kan revenue negara akan masuk. Terus kita bisa tambah, mungkin setiap tahun mungkin kita tambah 1-2 persen (pendapatan negara). So, tidak benar bahwa kita akan tambahkan utang nasional secara mendadak," ujar dia.
Sekadar informasi, pada awal kepemimpinan Jokowi, rasio utang berada di sekitar 24 persen dari PDB. Namun, akibat pandemi Covid-19 dan kebutuhan pembiayaan yang meningkat drastis untuk stimulus ekonomi, rasio utang sempat melonjak hingga 40,85 persen pada tahun 2021.
Meski begitu, pemerintah berhasil menurunkan rasio utang menjadi sekitar 39 persen pada tahun 2023. Adapun utang pemerintah pusat pada tahun 2014 berada di kisaran Rp2.600 triliun.
Angka ini terus meningkat, dan pada tahun 2023 utang pemerintah mencapai lebih dari Rp7.800 triliun. Peningkatan ini diiringi dengan berbagai proyek besar, termasuk pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, dan proyek pembangunan ibu kota baru (IKN).