Di tengah upaya restrukturisasi, muncul kabar pemerintah telah menyiapkan Pelita Air Service (PAS) sebagai penganti Garuda jika restrukturisasi dan negosiasi gagal. Soal itu, Wamen BUMN II Kartika Wirjoatmodjo membenarkannya.
"Kalau mentok, ya kita tutup (Garuda), tidak mungkin kita berikan penyertaan modal negara karena nilai utangnya terlalu besar," katanya.
Hingga kuartal III tahun ini, utang emiten dengan kode GIAA itu membengkak menjadi 9,78 miliar dolar AS atau sekitar Rp140 triliun. Dari jumlah itu, utang terbesar dari kewajiban pembayaran sewa pesawat kepada lessor sebesar 6,3 miliar dolar AS. Garuda juga mengurangi jumlah armada pesawat dari 142 unit hanya 60 unit yang beroperasi. Selain itu, Garuda juga mengalami ekuitas negatif sebesar 2,8 miliar AS atau Rp40 triliun.
"Dalam kondisi ini dalam istilah perbankan sudah technically bankrupt, tapi legally belum. Ini yang sekarang kita sedang upayakan gimana keluar dari posisi ini," ucap Kartika.
Sementara bengkaknya utang perseroan, Erick mengungkapkan, bukan hanya karena imbas pandemi tapi kesalahan di masa lalu. Dia menyebut, Garuda menjalankan bisnis model yang salah urus sejak awal. Garuda menjadi maskapai yang menyewa pesawat paling banyak di dunia, sehingga sewanya pesawatnya paling mahal, yakni mencapai 26 persen, sedangkan rata-rata maskapai 6 persen dari pos operasionalnya.
Erick menilai, manajemen tidak memaksimalkan ceruk pasar domestik yang potensial. Padahal, penerbangan masih didominasi oleh penumpang domestik. Tercatat, 78 persen penumpang menggunakan pesawat untuk bepergian antarpulau dengan estimasi perputaran uang mencapai Rp1.400 triliun.
Selain itu, menumpuknya utang Garuda juga ada indikasi praktik korupsi, di mana ada skenario mencari uang di penyewaan pesawat. Ini terbukti dengan dijebloskannya mantan pejabat Garuda Indonesia karena kasus korupsi.
Kondisi yang dialami maskapai pelat merah sangat kompleks. Garuda beberapa kali digugat, di antaranya oleh My Indo Airlines, PT Prima Raya Solusindo, dan PT Mitra Buana Koorporindo (MBK). Garuda pun masuk dalam status PKPU sementara pada 9 Desember 2021, di mana permohonan PKPU tersebut dari PT Mitra Buana Koorporindo.
Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra mengatakan, putusan PKPU tersebut bukan berarti perusahaan pailit. Namun memberikan waktu bagi Garuda untuk bernegosiasi dengan kreditur. Dia pun memastikan operasional Garuda tidak terganggu dengan status tersebut.
"Kami pastikan operasional perusahaan tetap berjalan," ujarnya.