Pernah menjadi orang terkaya kedua di Asia dengan kekayaan 42 miliar dolar AS, kekayaan Hui saat ini sekitar 6,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp874,35 triliun. Dia kehilangan kekayaannya sebesar 46 miliar dolar AS sepanjang 2021, yang merupakan penurunan kekayaan terbesar tahun ini.
Itu karena saham perusahaannya telah jatuh dan pemerintah mendesak Hui menggunakan kekayaan pribadinya untuk membantu membayar utang kepada investor.
Awal bulan ini, gubernur Bank Rakyat China mengatakan, gejolak Evergrande harus ditangani oleh pasar. Ini menandakan pemerintah tidak akan menyelamatkan Evergrande, pengembang dengan utang terbesar di dunia yang tengah berjuang membayar utang lebih dari 300 miliar dolar AS.
Gejolak juga melanda salah satu perusahaan yang dianggap sebagai salah satu pemain kuat di industri, Shimao Group Holdings Ltd. Obligasi dan sahamnya telah jatuh di tengah kekhawatiran menghadapi krisis uang tunai, sementara kesepakatan antara dua unit usahanya menimbulkan kekhawatiran terhadap tata kelola perusahaan.
Bagi pendiri perusahaan Hui Wing Mau, yang memulai investasi propertinya pada akhir 1980-an, itu menyebabkan kekayaannya berkurang lebih dari setengahnya tahun ini, turun 5,2 miliar dolar AS menjadi 4,4 miliar dolar AS.
Beberapa taipan bahkan telah kehilangan status miliarder mereka. Kekayaan Kwok Ying Shing, pemilik Kaisa Group Holdings Ltd. telah merosot hampir 90 persen tahun ini menjadi sekitar 160 juta dolar AS. Ketua Zhang Yuanlin dari Sinic Holdings Group Co juga berkurang kekayaannya setelah saham perusahaanya anjlok 75 persen dalam satu hari.
Sekarang pemerintah menggandakan upayanya untuk mendukung ekonomi dan melawan kemerosotan di sektor properti. Bank Rakyat China memangkas persyaratan cadangan bank awal bulan ini, dan para ekonom memperkirakan negara itu akan menambah stimulus fiskal pada tahun depan.
Namun menurut profesor di Fakultas Hukum Universitas Hong Kong Angela Zhang, krisis di sektor properti kemungkinan akan mengarah pada restrukturisasi yang akan lebih menantang daripada perusahaan seperti HNA Group Co.
“Sulit memperkirakan kapan krisis akan mereda,” ujarnya.