Selain itu, faktor jarak ekonomi juga berdampak pada permintaan vanili di ASEAN. Negara-negara ASEAN, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia, lebih memilih ekspor vanili dari Indonesia dibandingkan dengan negara pesaing seperti Madagaskar, Perancis, dan Jerman.
Meskipun vanili memiliki potensi ekspor yang besar, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi oleh produsen dan eksportir vanili Indonesia, termasuk pasokan yang tidak stabil akibat cuaca dan iklim yang fluktuatif. Upaya seperti peningkatan mutu produk, kapasitas produksi, dan perluasan pasar ekspor menjadi langkah penting untuk membuka peluang ekspor yang lebih luas di masa depan.
Oleh karena itu, upaya pengembangan komoditi vanili tidak hanya terbatas pada dukungan pembiayaan, tetapi juga harus memberikan manfaat dalam meningkatkan kualitas produk, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan. Untuk itu, LPEI sebagai Special Mission Vehicle (SMV) Kementerian Keuangan RI, menjadi mitra strategis dalam ekosistem ekspor yang fokus pada beyond financing, developmental impact, dan sustainability.
Sebagai informasi, tanaman vanili menghasilkan buah yang mengandung senyawa aromatik berharga yang sangat diminati di berbagai industri, terutama makanan dan minuman. Namun, proses budi daya vanili memerlukan waktu dua hingga empat tahun sebelum tanaman menghasilkan buah yang berbentuk polong untuk dapat dipanen.
Harga vanili di pasar global sangat tinggi, dengan rata-rata mencapai 270,40 euro/kg untuk vanili ekstrak dan 175,56 euro/kg untuk vanili utuh pada tahun 2022. Tingginya harga Vanili membuat vanili mendapatkan julukan tanaman "si emas hitam".
Data Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) pada tahun 2020 menunjukkan, Indonesia menyumbang sekitar 30,3 persen dari produksi vanili dunia dengan produksi sekitar 2.306 ton, berada di belakang Madagaskar yang menguasai 39,1 persen (2.975 ton) produksi dunia.