JAKARTA, iNews.id - Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengungkapkan, di tengah pesatnya era digital dan teknologi, ada tantangan sangat besar yang dihadapi bagi keamanan siber (cyber security) di berbagai sektor, khususnya industri perbankan dan keuangan. Salah satunya, serangan siber.
Laporan BSSN pada 2021 mencatat, ada 1,6 miliar serangan siber atau anomali trafik internet di Indonesia. Sementara berdasarkan laporan Microsoft dari sisi higienitas siber di Indonesia menyebutkan, sebanyak 22 persen komputer di Indonesia terinfeksi malware. Serangan tersebut ternyata menimbulkan potensi kerugian ekonomi cukup besar.
"Kondisi keamanan siber Indonesia ada isu yang perlu kita perhatikan bahwa potensi kerugian ekonomi Indonesia dari dampak serangan siber itu Rp14,2 triliun, dan 22 persen perusahaan pernah mengalami insiden serangan siber," kata Direktur Keamanan Siber dan Sandi Keuangan, Perdagangan, dan Pariwisata BSSN Edit Prima dalam keterangannya, Selasa (31/5/2022).
Dia menuturkan, ada dua tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan keamanan siber di Indonesia. Pertama, peningkatan risiko siber secara signifikan. Kedua, ketidaksiapan industri.
Sebagai contoh, sejak 2020 hingga 2021 berbagai kasus kebocoran data menimpa market place, instansi pemerintah, sektor keuangan, dan data e-Hac. Karena itu, menurut Edit, upaya penguatan ekosistem keamanan siber terus dilakukan pemerintah dengan menyiapkan berbagai regulasi agar bisa menciptakan ekosistem keamanan siber yang efektif.
"BSSN berkoordinasi dengan stakeholder dan kementerian/ lembaga terkait telah mengusung tiga peraturan atau regulasi," ujarnya.
Pertama, perlindungan infrastruktur informasi vital, ini dalam status menunggu penetapan Presiden Joko Widodo. Kemudian manajemen krisis siber dan strategi keamanan siber nasional yang dalam proses penyusunan.
Director of Delivery & Operation Telkomsigma I Wayan Sukerta mengungkapkan, digital banking yang terus berkembang dan sudah masuk di era digital banking 4.0 menjadi ancaman serius bagi perbankan bila tidak mengamankan data nasabah dan bank itu sendiri. Pasalnya, tingginya ketergantungan internet, transaksi dan layanan digital juga meningkatkan risiko serangan siber.
"Data OJK dan BSSN menyebutkan pada Januari sampai September 2021 ada 920 juta serangan dengan kerugian yang cukup besar. Dari total itu, 21,8 persen menyerang sektor perbankan dan keuangan. Sementara 58 persen serangan siber menggunakan malware, 11 persen trojan, dan sebagainya," tutur I Wayan.