Lembaga legislatif, Majelis Nasional sebelumnya telah mengusulkan sistem kuota bagi WNA yang tinggal di Kuwait. Pekerja migran dengan keahlian rendah akan menjadi prioritas untuk dikurangi. Selain itu, sekitar 100.000 WNA yang menjadi pegawai pemerintahan akan diganti seluruhnya dengan warga lokal.
Rencana ambisius tersebut mendapatkan kritikan dari sebagian watga. Kolumnis politik Kuwait, Sajed Al-Abdaly menilai, keputusan itu sulit direalisasika karena jumlah warga lokal yang sedikit tidak mungkin menggantikan peran ekspatriat. Apalagi, sebagian besar warga lokal bekerja pada pekerjaan kerah biru.
"Lebih dari 50 persen pembantu rumah tangga adalah orang-orang Kuwait. Yang Mulia (PM), jelaskan kepada kami sampai kami benar-benar percaya dengan rencana Anda," ujar Sajed.
Negara-negara Timur Tengah selama ini menjadi surga bagi kaum ekspatriat. Arab Saudi misalnya, merupakan negara dengan jumlah pekerja migran terbesar kedua di dunia setelah Jerman.
Sementara Uni Emirat Arab (UEA) pada tahun lalu menerima pekerja migran lebih besar daripada Prancis dan Kanada. Di Kuwait, ada sekitar 650.000 pekerja migran dari Filipina, India, Sri Lanka, dan Bangladesh yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Para ekspatriat senang tinggal di Kuwait karena menerima insentif pajak penghasilan yang rendah. Namun, mereka cukup rentan karena tidak memiliki jaminan sosial yang cukup, baik di negara yang mereka tinggali atau negara asal.
Saat pandemi, pekerja migran dinilai sebagai sumber dari penyebaran virus corona karena tinggal di pemukiman padat penduduk. Mayoritas kasus Covid-19 di negara tersebut dialami oleh pekerja migran.