Dalam laporan kekayaannya, Hasan Nasbi juga mencatat aset dalam bentuk kas dan setara kas dengan nilai mencapai Rp 17,69 miliar. Jumlah ini menunjukkan likuiditas tinggi, yang berarti ia memiliki cadangan dana tunai yang besar untuk kebutuhan pribadi, investasi, atau keperluan mendadak.
Selain kas, terdapat pula kategori harta lainnya senilai Rp 735 juta. Harta ini bisa berupa surat berharga, logam mulia, atau bentuk aset investasi lain yang tidak dijabarkan secara rinci dalam laporan. Jika digabungkan, jumlah harta tunai dan investasi Hasan Nasbi mencerminkan kestabilan keuangan yang solid, dengan perbandingan aset likuid hampir setengah dari total kekayaannya.
Jika dilihat dari komposisinya, sekitar 34 persen kekayaan Hasan Nasbi berupa tanah dan bangunan, 23 persen berupa kendaraan, dan 43 persen berupa kas serta aset likuid lainnya. Rasio ini menunjukkan bahwa portofolio kekayaannya seimbang antara aset tetap dan aset likuid, sesuatu yang umum dilakukan oleh individu berpengalaman dalam manajemen keuangan.
Utang yang tercatat hanya sekitar Rp 575 juta, atau sekitar 1,3 persen dari total kekayaannya. Artinya, Hasan Nasbi tidak terlalu bergantung pada pinjaman untuk memperbesar asetnya, melainkan mengandalkan hasil kerja dan investasi pribadi. Kondisi ini menggambarkan tingkat independensi finansial yang tinggi, terutama untuk seseorang yang kini duduk di posisi strategis di salah satu BUMN terbesar di Indonesia.
Transparansi harta kekayaan Hasan Nasbi Komisaris Pertamina yang kritik gaya komunikasi Purbaya menjadi penting dalam konteks tata kelola perusahaan negara. Sebagai pejabat publik yang kini berada di lingkungan BUMN, keterbukaan mengenai aset pribadi menjadi bagian dari akuntabilitas terhadap masyarakat.