Mantan Ketua Bapepam-LK tersebut menjelaskan, equity crowdfunding ini berbeda dengan P2P lending. Jika P2P lending, investor (lender) memberi pinjaman kepada peminjam (borrower), maka dana dalam equity crowdfunding bukan berbentuk pinjaman (lending), melainkan modal (equity).
Dengan begitu, pelaku usaha seperti usaha kecil dan menengah (UKM) dan perusahaan rintisan (startup) bisa memperoleh dana dari investor dengan memberikan sejumlah saham. Investor nantinya berpotensi memperoleh dividen kalau perusahaan itu untung. Sebaliknya, risiko tetap melekat karena bisnis bisa saja rugi.
Nurhaida mengatakan, OJK akan terus memantau dinamika bisnis fintech yang bergerak begitu cepat. Meski saat ini, regulator baru mengidentifikasi jenis bisnis fintech yaitu P2P lending dan equity crowdfunding.
"Ini ke depan selalu berkembang dan bergerak, kita lihat apakah klaster-klaster yang tadi terbentuk sudah ada peraturannya apa belum. Kalau peraturannya belum ada, maka OJK akan membuat aturan terkait dengan bentuk klaster baru ini," katanya.