Dari sentimen domestik, pemerintah menyoroti penundaan tarif resiprokal yang diperintahkan Presiden AS Donald Trump. Hal ini menjadi momentum tepat bagi Indonesia dan negara lain untuk melanjutkan negosiasi atas kenaikan tarif impor tersebut.
Selain itu, kebijakan ini juga menjadi tantangan nyata yang harus dihadapi Indonesia. Pasalnya, kebijakan baru ini akan mengancam stabilitas dagang Indonesia dan ASEAN yang telah lama menjunjung tinggi prinsip perdagangan bebas dan terbuka.
Adapun, ASEAN merupakan pasar ekspor terbesar kelima bagi produk pertanian Amerika. Dengan total nilai perdagangan barang mencapai 306 miliar dolar AS pada tahun 2024. Indonesia sendiri menyumbang 14,34 miliar dolar AS terhadap defisit perdagangan AS.
Kendati demikian, Indonesia memiliki mitra dagang yang strategis dengan beberapa negara. Terdapat enam perjanjian perdagangan yang sedang diupayakan untuk selesai yakni diantaranya, Indonesia-Canada CEPA, Indonesia-Peru CEPA, Indonesia-EU CEPA, Iran PTA, dan protokol amandemen Indonesia-Jepang (IJEPA) dan Trade & Investment Framework Agreement (TIFA) antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS).
Diharapkan, mitra ini akan bisa meningkatkan pasar ekspor Indonesia melalui penyelesaian beberapa perjanjian perdagangan bebas (FTA). Dan Ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang Indonesia untuk memperluas akses pasar, meningkatkan ketahanan dagang, dan membuka lapangan kerja baru.
Berdasarkan analisis tersebut, Ibrahim memprediksi bahwa mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif pada perdagangan selanjutnya dan berpotensi ditutup menguat dalam rentang Rp16.740-Rp16.800 per dolar AS.