JAKARTA, iNews.id - Nilai tukar (kurs) rupiah pada perdagangan hari ini kembali ditutup menguat 54 poin atau 0,33 persen ke level Rp16.321 per dolar AS. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah sempat dibuka pada level Rp16.351 per dolar AS.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi menuturkan, pelemahan dolar AS setelah indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) Amerika Serikat (AS), ukuran inflasi pilihan The Fed, tidak berubah pada bulan lalu, dan mengikuti kenaikan 0,3 persen yang tidak direvisi pada bulan April, data menunjukkan. Dalam 12 bulan hingga Mei, indeks harga PCE meningkat 2,6 persen setelah naik 2,7 persen pada bulan April.
"Menyusul data inflasi, dana berjangka Fed sedikit meningkatkan kemungkinan pelonggaran pada bulan September menjadi sekitar 67 persen, dari sekitar 65 persen pada akhir Kamis, menurut perhitungan LSEG. Pasar juga memperkirakan antara satu atau dua kali penurunan suku bunga sebesar 25 bps setiap tahunnya pada tahun ini," ujar Ibrahim dalam risetnya, Senin (1/7/2024).
Ketua The Fed Jerome Powell akan menyampaikan pidatonya pada hari Selasa, sementara risalah pertemuan The Fed bulan Juni akan dirilis pada hari Rabu. Selain itu, data nonfarm payrolls untuk bulan Juni akan dirilis pada hari Jumat.
Selain data ekonomi, pelaku pasar juga fokus pada kondisi politik AS. Kandidat Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump, melontarkan rentetan serangan palsu terhadap Presiden Joe Biden dalam debat kampanye pertama mereka di Atlanta, dengan dolar menguat karena Biden beberapa kali tersandung kata-katanya pada awal debat. Perdebatan tersebut meningkatkan kemungkinan Trump menjadi presiden dan penerapan tarif impor.
Selain itu, pembacaan indeks manajer pembelian pemerintah dan swasta memberikan isyarat yang berbeda terhadap perekonomian. Data pemerintah yang dirilis pada hari Minggu menunjukkan sektor manufaktur China menyusut untuk bulan kedua berturut-turut di bulan Juni.
Sebaliknya, pembacaan PMI swasta pada hari Senin menunjukkan sektor ini berkembang pada laju tercepat dalam tiga tahun. Data yang beragam ini membuat para pedagang tidak yakin mengenai bagaimana pemulihan ekonomi di China akan berjalan.