Kedua, kemampuan bayar utang luar negeri bisa dilihat dari indikator Debt Service Ratio atau DSR. Rasio ini untuk mengukur porsi utang luar negeri terhadap sumber-sumber penerimaan valas.
"Tercatat dari data Bank Indonesia, DSR per data Mei 2021 meningkat menjadi 23,5 persen lebih tinggi dibandingkan posisi 2014 yakni 18,3 persen," ujar Bhima Yudhistira.
Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, lanjutnya, terjadi ketidaseimbangan antara kemampuan penerbitan utang luar negeri baru dengan penerimaan dari sisi ekspor, dan devisa lainnya.
Ketiga, kekhawatiran risiko penerbitan utang sejalan dengan adanya taper tantrum dalam waktu dekat. Taper tantrum membuat investor melepaskan kepemilikan surat utang negara berkembang dan memilih aset yang aman.
"Kondisi 2013 bisa terjadi dan membuat pemerintah semakin sulit menerbitkan surat utang ke pasar," ungkap Bhima Yudhistira.
Keempat, ekses penerbitan surat utang dapat menyebabkan crowding out effect. Investasi swasta ke sektor riil dapat terganggu karena imbal hasil yang ditawarkan surat utang pemerintah lebih menarik dibandingkan berinvestasi secara riil.