Keberadaan internet atau digital tentu akan mengubah pola konsumsi. Dia mengatakan, pada 2030 mau tidak mau sektor ritel akan berubah sehingga harus pandai dalam merencanakan bisnisnya supaya tidak ketinggalan pasar. ”Jadi lebih melihatnya pada mengantisipasi pasar. Bisnis harus melihat perubahan demand,” kata dia.
Namun, perubahan konsumsi dari konvensional ke online sebaiknya tidak disikapi berlebihan. Pasalnya, bisnis online belum mampu menyubstitusi offline. ”Tetapi bahwa offline harus punya online itu betul. Jadi, dua-duanya harus dijalankan. Menurut saya tidak apa-apa dipadukan. Jangan mendikotomi antara onlinedan offline,” kata dia.
Dia mengatakan, dengan memadukan keduanya, penjualan akan lebih tinggi dibandingkan yang hanya memiliki salah satunya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah menilai, transformasi bisnis ritel dari offline ke online tidak terelakkan. ”Saya kira suatu saat nanti tidak ada lagi bisnis ritel yang sama sekali tidak memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk mengembangkan pasar,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Saat ini bahkan sudah ada aplikasi yang memungkinkan pedagang kios kecil berbisnis ritel secara digital. Menurut Piter, mereka yang tidak memanfaatkan sistem dalam jaringan atau online akan tersisih.
”Bisnis ritel yang paling cepat terpengaruh. Sekarang saja sudah beberapa bisnis ritel yang harus menutup outlet-outlet mereka,” ucap dia.
Perkembangan teknologi informasi yang kemudian mendorong perubahan gaya hidup menyebabkan pilihan masyarakat tidak lagi berbelanja di supermarket atau toko ritel besar. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat sudah mulai banyak memilih belanja online. ”Mereka tetap ke mal, tapi lebih untuk leisure misal nonton atau ke restoran,” katanya.