Moeldoko mengakui, grafik panen setelah bulan April hingga Agustus cenderung menurun. Oleh sebab itu, harus dilakukan upaya agar grafik panen ini tidak naik turun, melainkan selalu ada panen di setiap bulan.
"Jadi solusinya harus tiada hari tanpa panen. Harus selalu ada panen. Selain itu, perlu dibangun storage-storage di daerah-daerah untuk cadangan beras selain mengandalkan gudang milik Bulog," ujar mantan Panglima TNI ini.
Untuk itu, Moledoko mengatakan, dibutuhkan kebijakan pangan nasional dalam menentukan impor beras ini. Artinya, urusan pangan bukan lagi soal produksi, dalam hal ini urusan Kementan, tetapi terintegrasi.
Dia mencontohkan, urusan pupuk dengan Kementerian Perindustrian, urusan irigasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Kementerian Perdagangan untuk mengendalikan impor.
"Selama ini Kementan mengatakan ketersediaan cukup, tetapi Kemendag mengatakan selalu kurang dan akhirnya impor. Harusnya semua lembaga terintegrasi dan data yang dikeluarkan akurat apakah diperlukan impor atau tidak," katanya.
Bila selama ini alasan impor adalah kekurangan stok, maka ke depan harus dicarikan solusinya. Bila rata-rata hasil panen di Indonesia adalah 5-6 ton per hektare, maka sudah saatnya pemerintah mewajibkan petani menggunakan varietas padi yang menghasilkan lebih besar, minimal 8-9 ton.
"Permasalahan hulu harus dibenahi agar tidak adalagi kegaduhan impor beras karena kekurangan stok. Produksi harus makin ditingkatkan. Bila selama ini petani menghasilkan 5-6 ton per hektare, maka harus diupayakan menghasilkan 8-9 ton per hektare. Dan HKTI sudah mengembangkan varietas padi ini," ujar Moeldoko.