Pelebaran jalan ini dibangun untuk melancarkan arus lalu-lintas dan menghindari kemacetan. Kemacetan juga dipecah melalui konstruksi jalan berupa bundaran. Di tengah bundaran itu akan dibangun dua buah patung berbentuk orang melambaikan tangan sedang menyambut para tamu dan kemudian dianggap sebagai pintu gerbang Kota Jakarta.
Tak ketinggalan, dibangunnya gedung-gedung tinggi sebagai representasi Indonesia baru yang maju. Rancangan gedung-gedung itu terdapat dalam maket tiga dimensi di Gedung Pola, Jakarta. Tiga gedung pencakar langit gagasan Soekarno adalah Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, dan Gedung Sarinah yang dirasa memiliki nilai strategis bagi bangsa Indonesia di Jalan M. H. Thamrin semakin mengukuhkan posisi jalan itu sebagai ruang dan wajah gagasan Indonesia Baru sebagai bangsa yang merdeka.
Jalan M. H. Thamrin kemudian semakin mengalami pembangunan lebih lanjut pada masa Gubernur Henk Ngantung yang memimpin Jakarta antara tahun 1964 hingga 1965. Dalam masa pemerintahan yang relatif singkat, Henk Ngantung memoles wajah jalan ini dan menyeimbangkannya dengan pembangunan gedung-gedung bertingkat, dia juga membangun ruang terbuka hijau, tanaman, bunga, air, dan menambahkan unsur-unsur keindahan kota yang merepresentasikan nilai pembangunan mental-spiritual bangsa Indonesia.
Henk membangun bundaran dengan air mancur cantik di depan gedung Bank Indonesia yang membuat Jalan M.H. Thamrin menjadi lebih segar. Air mancur itu kemudian diberi nama Ngantung Fountain. Pembangunan Jalan M.H. Thamrin terhenti pada September 1965. Era berganti dan kekuasaan Presiden Soekarno berakhir digantikan oleh Orde Baru. Soeharto menjadi presiden dan mengubah arah kebijakan pembangunan di Jalan M.H. Thamrin. Presiden Soeharto meneruskan pembangunan gedung-gedung pencakar langit di Jalan M. H. Thamrin, namun bukan sebagai simbol revolusi Indonesia, melainkan alat investasi ekonomi.
Hingga akhirnya, pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin antara tahun 1966 hingga 1977, jalan M. H. Thamrin tetap diupayakan memiliki jiwa kerakyatan di tengah semakin lajunya pembangunan investasi ekonomi di kawasan ini. Agar ramah para pejalan kaki, Gubernur Ali Sadikin mengecat ulang zebra cross di setiap persimpangan, menyediakan alat bantu penyeberangan berupa tongkat dengan tulisan ‘STOP’, dan lampu kedip (flicker lights).
Tak hanya itu, dirinya juga membangun Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di depan Sarinah yang kemudian menjadi JPO pertama di Indonesia. Ratusan warga menjajalnya pada hari pertama peresmian, 21 April 1968. Jalan M.H. Thamrin benar-benar menjadi milik rakyat pada Juni 1968 ketika Gubernur Ali Sadikin menutup jalan ini dari kendaraan dan membukanya bagi rakyat untuk merayakan ulang tahun Jakarta. Dia mengundang para pedagang kecil, penarik becak, para seniman dan musisi, dan pejalan kaki untuk bersama-sama memenuhi jalan ini dan merayakannya sebagai jalan semua rakyat Jakarta dan Indonesia.