"Beban ekonomi biaya tinggi itu yang sebenarnya menggerogoti ekonomi, mulai dari perjalanan, logistik, sampai industri itu juga sangat terbebankan," kata dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dengan naiknya harga barang tersebut dapat membuat daya beli masyarakat menjadi menurun. Dengan demikian, kebijakan pengendalian impor ini tidak dapat menjadi solusi akhir kurangi defisit transaksi berjalan.
"Ini memang permasalahan sendiri (daya beli masyarakat), pengaruh terhadap dolar AS pun sudah diskusikan, beberapa tahun lalu oleh pemerintah. Solusinya lambat iya. Sementara virus-virus (sentimen eksternal) beranak-pinak," tuturnya.
Pemerintah resmi menerapkan kenaikan PPh impor untuk 1.147 komoditas guna menekan defisit neraca pembayaran. Dari 1.147 barang tersebut mengalami kenaikan pajak impor bervariasi mulai dari 7,5 hingga 10 persen. Dia merinci sebanyak 210 komoditas terkena kenaikan pajak impor dari 7,5 persen menjadi 10 persen. Kenaikan itu karena termasuk dalam kategori barang mewah. Contohnya saja mobil CBU dan motor besar.
Kemudian, sebanyak 218 komoditas, tarif PPh impornya naik dari 2,5 persen menjadi 10 persen. Komoditas itu sebagian besar bisa diproduksi di dalam negeri, seperti barang elektronik dispenser air, pendingin ruangan, lampu, keperluan sehari-hari seperti sabun, shampoo, kosmetik, dan peralatan masak/dapur.
Sementara, sebanyak 719 komoditas, tarif PPh impornya naik dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen. Komoditas yang terkena ini merupakan barang konsumsi, seperti keramik, peralatan audio visual, box speaker, dan produk tekstil.