"Kami sangat mengkhawatirkan kondisi PLN ini, namun sejak lama kita suarakan tapi tetap saja. PLN semakin terpuruk serta menderita kerugian besar. Jangan berlarut-larut sebab ke depan akan membebani masyarakat," kata Jumadis.
Lebih lanjut Jumadis juga menilai, dominasi swasta dalam proyek-proyek infrastruktur ketenagalistrikan 35.000 MW perlu dievaluasi. Apalagi, kebutuhan riil pasokan listrik yang sesuai hitungan hanya sekitar 20.000 MW.
Artinya PLN harus menanggung kelebihan produksi dari swasta tersebut yang dibayar dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Parahnya lagi, akibat penggunaan dolar AS yang berlebihan membuat nilai tukar rupiah semakin terpuruk dan mendorong defisit transaksi berjalan semakin melebar.
"Apa yang kita sampaikan sebelumnya sekarang udah terlihat dan terbukti, kondisi keuangan PLN semakin tidak menentu. Kalau waktu itu kita didengar mungkin keadaannya tidak seperti ini," kata dia.
SP PLN juga mengkritisi kebijakan PLN yang tidak menjalankan kesepakatan perjanjian kerja bersama (PKB) terutama terkait dengan hubungan industrial dengan pekerjanya. PKB yang tak dijalankan antara lain masa pensiun 56 tahun yang kini diubah menjadi 46 tahun. Selain itu, adanya kebijakan yang memungkinkan direksi dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sewaktu-waktu tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku.
"Mudah-mudahan kita tidak sampai jadi mogok kerja karena itu akan merugikan masyarakat juga. Tapi kalau seandainya hal ini tidak diindahkan juga ya kami akan gunakan hak kami yang dilindungi Undang-Undang untuk mogok kerja tujuh hari," tuturnya.