Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan menjadi kontributor terbesar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dengan nilai mencapai 19,83 persen pada triwulan II tahun 2018. Sementara untuk pertumbuhan industri pengolahan nonmigas, berada di angka 4,41 persen, lebih tinggi dibandingkan capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar 3,93 persen.
Adapun sektor-sektor yang menjadi penopang pertumbuhan industri pengolahan nonmigas di kuartal dua tahun ini, antara lain adalah industri karet, barang dari karet dan plastik yang tumbuh sebesar 11,85 persen, kemudian diikuti industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki sebesar 11,38 persen.
Selanjutnya, pertumbuhan industri makanan dan minuman tembus 8,67 persen, serta industri tekstil dan pakaian jadi mencapai 6,39 persen. Kinerja dari sektor-sektor manufaktur tersebut mampu melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. “Sehingga sektor manufaktur sering disebut menjadi ujung tombak perekonomian Indonesia karena kontribusinya mencapai 18-20 persen,” ucap Ngakan.
Di samping itu, sepanjang tahun 2017, industri manufaktur menjadi penyumbang 74,10 persen atau kontributor tertinggi dalam struktur ekspor Indonesia dengan nilai mencapai 125,02 miliar dolar AS. Dari hasil program hilirisasi, rasio ekspor pada periode 2015-2017, produk hilir mendominasi sebesar 78 persen, sisanya produk hulu.
Seiring pertumbuhan industri, sektor ini juga berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2010, terdapat 13,82 juta tenaga kerja di sektor industri, naik menjadi 17,5 juta tenaga kerja di tahun 2017.
Sektor industri pun memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan nilai investasi pada semester I tahun 2018. Jumlah penanaman modal dari kelompok manufaktur mencapai Rp122 triliun melalui 10.049 proyek atau menyumbang 33,6 persen dari total nilai investasi sebesar Rp361,6 triliun.