JAKARTA, iNews.id - Usai melalui proses persalinan, tak jarang perempuan mengalami perasaan traumatis yang dapat menyebabkan gangguan mental. Misalnya, baby blues dan postpartum depression atau depresi pascamelahirkan.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), depresi yang terjadi pascamelahirkan atau postpartum depression, adalah masalah umum yang mengganggu 13 persen perempuan di seluruh dunia. Namun, di negara-negara berkembang seperti Indonesia, gangguan ini pun menyerang lebih banyak perempuan, yakni sekira 19,8 persen.
Sementara itu, baby blues menyerang kurang lebih 80 persen perempuan. Jangka waktunya lebih pendek daripada postpartum depression, serta gejala lebih ringan.
Namun jika baby blues dianggap enteng dan tak ada perbaikan kondisi, sindrom tersebut bisa berkembang menjadi postpartum depression.
"Baby blues paling lama itu satu bulan. Kalau postpartum depression itu, jangka waktunya bisa satu tahun," kata Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo, dalam acara “Peluncuran Orami Birth Club”, di Pasific Place, Jakarta Pusat, Rabu (6/12/2017).
Nah, apa sih faktor penyebab terjadinya depresi usai persalinan? Bagaimana gejala, serta penanganannya? Berikut pemaparannya, seperti dirangkum iNews.id dari berbagai sumber.
Faktor
Banyak hal yang menyebabkan perempuan terserang depresi setelah melahirkan. Di antaranya faktor perubahan yang dialami pascapersalinan, faktor internal, dan eksternal. Misalnya, perubahan fisik yang drastis, hormonal, ekspektasinya yang tak sesuai realita, minimnya dukungan dari orang terdekat, khususnya pasangan dan keluarga, serta tak ada juga supporting system dari lingkungan.
Gejala
Berbeda dengan baby blues yang hanya menyebabkan ibu merasa uring-uringan, postpartum depression memiliki ciri-ciri, seperti rasa bersalah dan kecemasan berlebihan, gangguan pola makan dan tidur, serta keinginan bunuh diri. Orang yang menderita gangguan ini, terlihat dari fisiknya yang kekurangan bobot atau kelebihan bobot secara signifikan pascamelahirkan.
Solusi dan Pencegahan
Untuk solusi dan pengobatan disesuaikan dengan tingkat keparahan gangguan. Mulai dari konseling, terapi, dan konsumsi obat-obatan Inhibitor Reuptake Serotonin Selektif (SSRI). Sementara itu untuk pencegahan, dimulai dari si ibu dan lingkungan terdekat. Misalnya, persiapan yang matang sebelum kehamilan, selama hamil, dan persalinan. Kemudian, antisipasi kemungkinan terburuk, dapat menerima keadaan, dan dukungan dari berbagai pihak mulai dari pasangan, keluarga besar, hingga teman-teman.