JAKARTA, iNews.id - Kualitas hidup pasien Imunodefisiensi Primer (IDP) di Indonesia masih tertinggal dibanding negara ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Thailand. Ini disebabkan terbatasnya diagnosa dan akses pengobatan pasien.
Menurut International Patients Organisation for Primary Immunodeficiency, PID Life Index, Indonesia berada di peringkat 59 dari 74 negara yang dinilai. Karena terbatasnya diagnosa dan pengobatan, padahal pengobatan yang tepat sangat membantu para pasien.
Imunodefisiensi primer adalah penyakit genetik langka yang menyebabkan berkurangnya jumlah dan/atau fungsi sel imun tubuh. Penyakit ini pada akhirnya menyebabkan seorang individu rentan terhadap infeksi.
Parahnya tanpa pengobatan yang tepat, pasien dengan IDP akan mengalami infeksi berulang dan berat, meningkatkan angka perawatan rumah sakit, bahkan kematian.
Ada beberapa terapi IDP saat ini yang sudah tersedia di Tanah Air. Namun, terapi itu belum terindikasi untuk pengobatan IDP di Fornas, daftar obat yang disusun berdasarkan bukti ilmiah mutakhir oleh Komite Nasional Penyusunan Fornas, sehingga menyulitkan pasien menjangkau akses pengobatan.
Salah satunya adalah terapi Intravenous Immunoglobulin (IVIG) yang harus diberikan sebagai antibodi pengganti pada pasien IDP yang tidak mampu memproduksi antibodi sendiri dengan baik. Terapi lainnya adalah filgastrim yang harus diberikan pada pasien IDP dengan sel neutrofilnya sangat rendah.
“Kedua obat tersebut sudah ada di Indonesia namun tak tercantum sebagai indikasi obat pada daftar Fornas. Kami meminta Kementerian Kesehatan mempertimbangkan untuk meningkatkan tingkat cakupan terapi IVIG dan filgastrim bagi pasien IDP agar sejalan dengan standar internasional,” kata Ketua Yayasan Pasien Imunodefisiensi Primer Indonesia Adhi Nugraha Sugiharto, Selasa (23/4/2024).