MAGELANG, iNews.id - Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ketujuh ditutup semalam, Sabtu 25 November 2018. Serangkaian pertunjukan seni digelar di kaki Candi Borobudur, dari pentas multimedia Minang, teater kontemporer Madura, hingga wayang golek Tegal.
Under the Volcano karya Yusril Katil yang dimainkan Komunitas Seni Hitam Putih dari Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, Sumatera Barat paling istimewa. Empat tahun lalu karya seni yang kental dengan tradisi randai Minang ini, manggung di Olimpiade Teater Beijing, Tiongkok. Randai yang banyak menyerap gerakan silat berpadu dengan tarian nan dinamis, puisi yang menyentuh tentang bencana alam, serta musik Minang yang ngelangut.
Properti tangga menjadi simbol bertahan manusia di tengah bencana. Tangga pun lambang demokrasi khas Minangkabau yang mementingkan musyawarah untuk mufakat, tapi keputusan akhir diambil pemimpin masyarakat.
Dari Sumatera Barat, panggung Aksobhya berupa tanah dan rumput di bawah Candi Borobudur berubah bernuansa Madura. Padepokan Seni Madura yang didirikan sutradara Anwari pada 2014 mendedahkan kisah pilu wong cilik dan alam yang dieksploitasi semena-mena. Di atas peci aktor-aktor pria yang bertelanjang dada, bata putih khas Bangkalan mereka sunggi. Namun, dialek bahasa Madura yang terdengar lucu sangat menghibur penonton yang selama dua malam pementasan BWCF terkesan serius.
Suasana kian cair saat komunitas Cing Cing Mong memainkan wayang golek dengan gaya Tegal. Uniknya, mereka mengadaptasi naskah teater modern mendiang Arifin C. Noer, Orkes Madun (Madekur dan Tarkeni). Kisah Madekur yang menjadi pencopet dan kekasihnya, Tarkeni, yang terpaksa melacur untuk bertahan hidup di Jakarta setelah meninggalkan desanya, dibawakan secara karikatural. Selain wayang golek, wayang kulit pun dimainkan. Diiringi musik gamelan, keyboard, serta bass. Pertunjukan wayang unik ini menutup BWCF pukul 01.00 WIB, Minggu (25/11/2018).
Video Editor: Khoirul Anfal