JAKARTA, iNews.id - Terdapat sejumlah pemilu tercurang yang pernah terjadi di dunia dalam sejarah modern. Salah satu bentuk kecurangan yang terjadi adalah mengganggu proses pemilihan dengan tujuan untuk memenangkan seorang kandidat atau membuat lawan politik kalah.
Ada juga kecurangan lain seperti penggelembungan suara bagi kandidat yang disukai atau pengurangan suara bagi lawannya.
Setiap negara di dunia memiliki undang-undang yang berbeda yang mengatur proses pemilihan dan pelanggaran yang terjadi.
Tindakan yang melanggar undang-undang tersebut juga dianggap sebagai kecurangan dalam pemilihan umum.
Berikut empat pemilu tercurang yang pernah terjadi di dunia seperti dikutip dari laman worldatlas, Sabtu (1/7/2023).
Pemilihan umum ke-24 di Turki diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 2015, di mana empat partai politik besar muncul dengan hasil perolehan suara yang beragam.
Partai yang berkuasa saat itu, yaitu Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), kehilangan mayoritas suara di parlemen dengan hanya meraih 40,9% suara.
Partai-partai lain yang ikut berpartisipasi dalam pemilu tersebut adalah Partai Rakyat Republik (CHP), Partai Gerakan Nasionalis (MHP), dan Partai Demokrat Rakyat (HDP).
Akan tetapi, pemilihan ini diliputi oleh kontroversi sebelum, selama, dan setelah pengumuman hasilnya.
Selama kampanye, presiden saat itu, Recep Tayyip Erdoğan, dituduh merencanakan kecurangan pemilu dan terdapat beberapa penyimpangan.
Penyimpangan tersebut meliputi penggunaan sumber daya negara oleh AKP, data pemilih yang tidak akurat, ketimpangan media, dan intimidasi.
Tuduhan-tuduhan ini memicu kekerasan politik dan tindakan vandalisme, terutama terhadap properti para kandidat.
Dewan Pemilihan Agung juga dituding mencetak surat suara yang berlebihan yang menimbulkan kontroversi.
Proses pemungutan suara ditandai dengan banyak pelanggaran.
Pada tanggal 3 Juni 2015, Kelompok Pemantauan Pemilihan Sukarela dan kelompok pemantau pemilu lainnya menyatakan bahwa partai-partai tersebut telah mencatat suara tambahan yang berujung pada kekerasan politik di seluruh negeri.
Hasil pemilu tersebut menghasilkan komposisi kursi parlemen yang tergantung, hal ini pertama kali terjadi di negara tersebut, dengan AKP meraih 40,9% suara, CHP 25%, MHP 16,3%, dan HDP 13,1%.
Upaya pembentukan pemerintahan koalisi gagal beberapa kali. AKP mendukung penyelenggaraan pemilu dini yang akhirnya diadakan pada tanggal 1 November 2015.
Pemilihan Presiden Rumania pada tahun 2014 diadakan dalam dua putaran. Pada putaran pertama yang berlangsung pada tanggal 2 November 2014, dua dari 14 kandidat berhasil melaju ke putaran kedua karena tidak ada kandidat yang memperoleh lebih dari 50% suara.
Kandidat yang berhasil lolos adalah Victor Ponta dari Partai Sosial Demokrat dan Klaus Iohannis dari Partai Liberal Nasional (PNL).
Putaran kedua pemilihan presiden dijadwalkan pada tanggal 16 November 2014, dan Mahkamah Konstitusi mengonfirmasi hasil pemilihan tersebut serta mengesahkan Klaus Iohannis sebagai presiden.
Pemilihan presiden ini diliputi oleh aksi protes, terutama oleh para pemilih di luar negeri, yang menyatakan ketidakpuasan terhadap proses pemungutan suara dan menuntut agar waktu pemungutan suara diperpanjang hingga pukul 21.00 malam.
Hasil akhir pemilihan dianggap mengejutkan karena Victor Ponta sebelumnya dianggap sebagai kandidat presiden favorit sebelum putaran kedua.
Selain itu, pemilihan ini juga diwarnai oleh dugaan suap, seperti distribusi makanan kepada lebih dari 6,5 juta orang selama kampanye.
Wakil Victor Ponta juga dituduh melakukan pemengaruh ilegal terhadap pemilih di Moldova agar memilih Ponta. Selain itu, terjadi protes oleh pemilih Diaspora di sekitar tempat pemungutan suara di Paris, London, New York, dan Madrid.
Pemilu Tercurang yang pernah terjadi di dunia selanjutnya yakni pada tanggal 27 Desember 2007.
Ketika itu dilaksanakan pemilihan umum di Kenya yang mencakup pemilihan presiden, Anggota Parlemen, dan Dewan Lokal.
Pemilihan presiden menjadi arena persaingan antara Kibaki, presiden petahana, dan Raila Odinga, pemimpin oposisi.
Pemilu ini ditandai oleh konflik antar-etnis, dengan Kibaki yang memimpin kelompok etnis Kikuyu yang dominan, sedangkan Raila menciptakan basis yang lebih luas dengan mempersatukan lima suku besar.
Meskipun jajak pendapat menunjukkan bahwa Raila Odinga memiliki dukungan yang signifikan di seluruh negara, Kibaki dinyatakan sebagai pemenang dengan 46% suara, sedangkan Raila Odinga memperoleh 44% suara.
Namun, partai Odinga berhasil memenangkan mayoritas kursi di Majelis Nasional atau Parlemen.
Odinga dan pendukungnya menolak hasil pemilihan karena Odinga telah memperoleh suara terbanyak di enam dari delapan provinsi. Selain itu, beberapa basis dukungan Kibaki tercatat dengan jumlah pemilih melebihi 100%.
Meskipun demikian, Kibaki tetap dilantik sebagai presiden pada tanggal 30 Desember 2007. Kekerasan meletus tak lama setelah hasil pemilu diumumkan dan memicu bentrokan etnis.
Dampak dari eskalasi kekerasan tersebut adalah korban tewas sebanyak lebih dari 1.300 orang dan sekitar 600.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Akhirnya, Raila Odinga dan Kibaki membentuk pemerintahan koalisi dengan Odinga menjabat sebagai perdana menteri.