Sebelumnya, 114 kematian warga sipil tercatat dalam sehari, Sabtu (27/3/2021) yang menjadi hari paling berdarah sejak militer menggulingkan dan menahan pemimpin terpilih, Aung San Suu Kyi. Tindakan aparat justru membuat demonstran bertekad untuk melakukan unjuk rasa lebih besar menentang kembalinya kekuasaan militer.
Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Tom Andrews mengatakan, tentara negara itu melakukan pembunuhan massal. Dia meminta dunia untuk mengisolasi junta militer Myanmar dan memblokir aksesnya ke pasokan senjata.
Negara-negara lain termasuk Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman dan Uni Eropa (UE) kembali mengutuk kekerasan tersebut. "Ini mengerikan, benar-benar keterlaluan," kata Presiden AS Joe Biden kepada di Delaware.
Selain itu, sebanyak 3.000 penduduk desa Myanmar dilaporkan melarikan diri ke Thailand setelah jet militer membom wilayah pemukiman etnis minoritas tertua Myanmar, Persatuan Nasional Karen (KNU) dan menewaskan tiga warga sipil.
"Tolong, biarlah ini menjadi masalah internal mereka (Myanmar). Kami tidak ingin ada eksodus, maupun evakuasi ke wilayah kami, tetapi kami juga tidak mengabaikan hak asasi manusia (HAM)," ujar Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan Ocha di Bangkok.