Kedua negara kini telah mengerahkan kekuatan penuh militer. Thailand menggunakan jet tempur F-16, artileri berat, dan kendaraan lapis baja, sementara Kamboja membalas dengan roket BM-21 dan pengeboman artileri berkelanjutan.
Pertempuran terkonsentrasi di enam lokasi strategis, termasuk dua kuil kuno yang menjadi bagian dari sengketa teritorial lama, yakni di sekitar kawasan Kuil Preah Vihear.
Ketegangan tak hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga di ranah diplomatik dan informasi. Thailand menuduh Kamboja menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia, dengan menempatkan artileri di pemukiman penduduk.
Sebaliknya, Kamboja menuduh Thailand melakukan kejahatan perang dengan menargetkan fasilitas sipil dan menggunakan senjata terlarang.
Tuduhan paling serius datang dari Kementerian Pertahanan Kamboja, yang menyatakan bahwa militer Thailand menggunakan bom klaster dalam serangan udara mereka. Bom jenis ini dilarang oleh hukum internasional karena menyebarkan banyak submunisi yang dapat meledak kemudian hari dan menimbulkan bahaya jangka panjang bagi warga sipil.
Menurut juru bicara Kemhan Kamboja, bom klaster digunakan di dua dari tujuh serangan besar yang dilakukan Thailand pada Kamis dan Jumat pagi, termasuk di wilayah Khloch dan Desa Techo Ngom. Jika terbukti, hal ini dapat memperkeruh posisi Thailand di mata internasional dan membuka peluang investigasi lebih lanjut oleh badan internasional.
Kamboja menyerukan gencatan senjata segera tanpa syarat dalam pertemuan darurat tertutup Dewan Keamanan PBB membahas konflik bersenjata dengan Thailand, Jumat (25/7/2025) waktu New York.
"Kamboja mendeesak gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan kami juga menyerukan solusi damai untuk perselisihan ini," ujar Perwakilan Tetap Kamboja di PBB, Keo Chhea.
Dia melajutkan anggota DK PBB juga mendesak kedua pihak untuk menahan diri secara maksimal, dan menempuh solusi diplomatik.