Dia juga meminta sumbangan untuk membantu keluarganya mengungsi ke Mesir.
"Saya mengurus keluarga karena saya yang tertua," katanya, seraya menambahkan orang tua, dua adik perempuan, dan dua adik laki-lakinya telah mengungsi lima kali sebelum tinggal di halaman RS Al Aqsa.
Namun tenda yang mereka bangun berubah menjadi peti mati pada Senin lalu setelah serangan brutal pasukan Zionis. Shaban dan keluarganya terjebak dalam kobaran api.
Ayahnya, Ahmad Al Dalou, juga mengalami luka bakar parah. Dia mengatakan masih bisa keluar dari tenda, namun tidak dengan anak-anaknya.
Dari luar tenda, dia menyaksikan langsung api membakar anak-anaknya. Dua dari anaknya masih bisa dia selamatkan, namun tidak dengan yang lainnya.
"Setelah itu, api membakar semuanya. Saya tidak bisa menyelamatkan mereka," katanya.
Ahmad mengatakan, Shaban pernah mengatakan ingin belajar di luar negeri untuk menjadi dokter. Namun Ahmad menolak keinginan putra sulungnya itu karena ingin dia tetap berada di Gaza membantu keluarga.
Meski demikian, lanjut Ahmad, Shaban tetap anak yang tekun belajar serta menjadi hafiz Alquran atau menghafal seluruh Alquran.
Bahkan, meski di tengah kondisi perang, Shaban tak jauh dari laptopnya agar bisa belajar.
“Dia sangat mencintai ibunya. Sekarang, dia telah menjadi syahid di pelukan ibunya. Kami mengubur mereka dalam kondisi berpelukan satu sama lain," ujarnya.