BEIJING, iNews.id - Tanggapan Beijing terhadap jatuhnya armada militer Amerika Serikat (AS) di Laut China Selatan memunculkan pertanyaan besar, apakah tawaran bantuan itu kepada Washington murni kemanusiaan atau bagian dari strategi diplomasi halus di tengah rivalitas militer kedua negara?
Pada Minggu (26/10/2025), helikopter MH-60R Sea Hawk dan jet tempur F/A-18F Super Hornet milik Angkatan Laut AS jatuh di Laut China Selatan dalam dua insiden berbeda waktu. Kedua pesawat berasal dari kapal induk USS Nimitz, yang sedang melakukan operasi rutin di perairan internasional.
Menurut Komando Armada Pasifik AL AS, seluruh kru berhasil diselamatkan tanpa korban jiwa. Namun, insiden itu kembali menyoroti tingginya risiko operasi militer di kawasan yang menjadi pusat persaingan antara dua kekuatan dunia tersebut.
Respons Beijing: Kritik, tapi Siap Menolong
Dalam konferensi pers pada Senin (27/10/2025), Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China, Guo Jiakun, menuding aktivitas militer AS di Laut China Selatan sebagai akar ketegangan kawasan.
“AS sedang memamerkan kekuatannya dengan sering mengirim pesawat militer ke Laut China Selatan, dan ini menjadi penyebab utama terganggunya perdamaian dan stabilitas,” kata Guo.
Namun, di balik kritik itu, Beijing juga mengulurkan tangan.
“Jika Amerika Serikat memiliki permintaan, maka China akan memberikan bantuan yang diperlukan atas dasar kemanusiaan,” ujarnya.
Pernyataan itu mencuri perhatian karena datang di tengah hubungan militer kedua negara yang memburuk. Tawaran bantuan tersebut, meski terdengar humanis, juga bisa dibaca sebagai langkah diplomatik yang cermat, menunjukkan China sebagai pihak yang “lebih rasional” di kawasan.
Strategi Citra: Soft Power di Tengah Hard Power
Pengamat pertahanan dari RAND Corporation, Michael Horowitz, mengatakan tawaran Beijing bisa jadi bagian dari strategi citra global.
“China ingin menegaskan dirinya bukan sebagai pengacau kawasan, tapi penjaga stabilitas. Dengan menawarkan bantuan, Beijing mencoba menampilkan wajah kemanusiaan di tengah ketegangan militer,” ujarnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing memang aktif membangun narasi bahwa Laut China Selatan adalah ‘rumah bersama’ bagi China dan ASEAN, bukan arena dominasi kekuatan eksternal. Pernyataan Guo Jiakun juga menegaskan posisi itu.
“Perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan harus dijaga bersama oleh negara-negara kawasan,” katanya.
Namun di sisi lain, tindakan China terhadap Filipina dan Vietnam, seperti penghadangan kapal, penggunaan meriam air, dan blokade di Second Thomas Shoal, menunjukkan bahwa Beijing tetap mempertahankan kebijakan keras terhadap klaim teritorial.