JAKARTA, iNews.id - Sejarah Hari Anak Sedunia berawal dari gagasan global untuk menjadikan satu hari khusus sebagai momentum merayakan sekaligus memperjuangkan hak-hak anak di seluruh dunia. Hari ini dikenal sebagai World Children’s Day dan diperingati setiap 20 November oleh banyak negara, termasuk Indonesia.
Peringatan Hari Anak Sedunia bukan sekadar seremoni, tetapi dijadikan hari aksi global untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya perlindungan, kesejahteraan, dan partisipasi anak dalam kehidupan sosial. Badan PBB untuk anak, yaitu UNICEF, memanfaatkan momen ini untuk mengampanyekan pemenuhan hak dasar anak, mulai dari hak hidup, tumbuh kembang, pendidikan, hingga perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Gagasan hari khusus untuk anak muncul sejak awal abad ke-20 ketika isu kesejahteraan anak mulai mendapat perhatian internasional. Setelah Perang Dunia II, kondisi anak di banyak negara sangat memprihatinkan, sehingga PBB dan berbagai organisasi kemanusiaan mendorong lahirnya kebijakan khusus untuk melindungi anak.
Pada 1954, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang merekomendasikan setiap negara menetapkan “Universal Children’s Day”. Tujuannya adalah mendorong persaudaraan antar-anak di seluruh dunia, meningkatkan pemahaman antarbangsa, dan mengajak pemerintah serta masyarakat menjadikan kesejahteraan anak sebagai prioritas utama.
Awalnya, PBB memberi keleluasaan kepada tiap negara untuk memilih tanggal peringatan Hari Anak. Namun, peristiwa penting yang terjadi pada tanggal 20 November membuat tanggal ini kemudian diterima luas sebagai Hari Anak Sedunia di tingkat global.
Tanggal 20 November menjadi bersejarah karena pada 20 November 1959 Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Hak-Hak Anak. Tiga puluh tahun kemudian, tepat pada 20 November 1989, PBB kembali mengesahkan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) yang bersifat mengikat bagi negara-negara yang meratifikasinya.
Deklarasi Hak-Hak Anak 1959 adalah tonggak awal pengakuan internasional bahwa anak memiliki hak khusus yang harus dilindungi dan dihormati. Dokumen ini menegaskan bahwa anak berhak atas perlindungan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan yang aman untuk tumbuh dan berkembang.
Meski bersifat deklaratif dan belum mengikat secara hukum, deklarasi ini menjadi dasar moral dan politik bagi banyak kebijakan nasional dan internasional terkait anak. Di bidang hak asasi manusia, deklarasi 1959 sering disebut sebagai batu loncatan menuju rezim hukum internasional yang lebih kuat dalam perlindungan anak.
Konvensi Hak-Hak Anak 1989 merupakan perjanjian internasional yang paling luas diratifikasi dalam sejarah hak asasi manusia. Konvensi ini terdiri dari puluhan pasal yang mengatur hak anak, mulai dari hak hidup, hak atas identitas, kesehatan, pendidikan, perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, hingga hak untuk didengar dan berpartisipasi dalam keputusan yang menyangkut diri mereka.
Dalam kajian hukum internasional, konvensi ini mengubah cara pandang negara dan masyarakat terhadap anak. Anak tidak lagi dilihat sekadar sebagai objek yang harus “dipelihara”, melainkan sebagai subjek yang memiliki hak dan suara sendiri. UNICEF dan banyak lembaga akademik menjadikan Konvensi Hak Anak sebagai rujukan utama dalam penelitian mengenai kebijakan dan praktik perlindungan anak di berbagai negara.
PBB berperan sebagai payung utama yang mendorong negara-negara anggota menghormati dan menerapkan prinsip-prinsip hak anak dalam hukum serta kebijakan nasional. Majelis Umum PBB secara rutin membahas isu-isu terkait anak, mulai dari pendidikan, kesehatan, konflik bersenjata, hingga dampak perubahan iklim.
UNICEF, sebagai lembaga khusus PBB untuk anak, bergerak langsung di lapangan melalui berbagai program di lebih dari ratusan negara dan wilayah. Program tersebut meliputi imunisasi, gizi, pendidikan dasar, air bersih dan sanitasi, perlindungan dari kekerasan, hingga respons kemanusiaan di zona konflik dan bencana. Hari Anak Sedunia menjadi salah satu momen terbesar bagi UNICEF untuk menggalang dukungan dan partisipasi publik.
Dalam literatur ilmiah, Hari Anak Sedunia dan Konvensi Hak Anak sering dibahas dalam jurnal hukum, ilmu sosial, dan pendidikan. Banyak artikel akademik menjelaskan bahwa empat prinsip utama Konvensi Hak Anak non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang, serta penghormatan terhadap pandangan anak menjadi fondasi dalam perumusan kebijakan publik.
Penelitian lain menunjukkan bahwa negara yang secara konsisten mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut cenderung memiliki indikator kesejahteraan anak yang lebih baik, misalnya penurunan angka putus sekolah, peningkatan cakupan imunisasi, dan berkurangnya angka kekerasan pada anak. Tulisan-tulisan ilmiah ini menegaskan bahwa peringatan Hari Anak Sedunia berfungsi sebagai pengingat tahunan agar komitmen negara terhadap hak anak benar-benar diterjemahkan dalam program nyata.