Muhammad Fatahillah, M.Si
Staf Pengajar Tidak Tetap Departemen HI FISIP UI
Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH UI)
TANGGAL 7 Oktober 2024 lalu, dunia memperingati satu tahun peristiwa penculikan ratusan warga negara Israel oleh kelompok militan Islam pro-kemerdekaan Palestina Hamas. Serangan itu memicu pembalasan dari Israel melalui operasi militer secara besar-besaran ke Jalur Gaza. Baik penculikan warga negara Israel oleh Hamas maupun agresi militer Israel ke wilayah Jalur Gaza merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah menyebabkan banyak korban jiwa, khususnya rakyat sipil di kedua belah pihak.
Bahkan hingga pekan ini, United Nations Office for Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) mencatat, jumlah korban jiwa di pihak Palestina menembus 42.000 orang dan di pihak Israel mencapai lebih dari 1.200 orang. Di samping itu, sekitar 97.009 orang yang terluka di pihak Palestina dan sekitar 5.432 orang terluka di pihak Israel.
Selain korban jiwa akibat konflik, kerusakan infrastruktur di Jalur Gaza akibat gempuran udara dan darat oleh militer Israel juga sangat besar. UNOCHA mencatat lebih dari 70.000 rumah mengalami kehancuran. Hal ini berimbas pada 1,9 juta orang mengungsi di internal Gaza (UNOCHA, 2024). Berbagai kebutuhan hidup mereka yang mendasar pun tidak tersedia karena pembatasan ketat yang diberlakukan oleh militer Israel terhadap mobilitas barang di zona konflik. Bahkan menurut laporan WHO pada Agustus 2024, sebanyak 20 dari 36 atau 56 persen dari total jumlah rumah sakit yang ada di Gaza berhenti beroperasi karena berbagai kendala, termasuk adanya ancaman pengeboman dari tentara Israel.
Hal tersebut membawa dampak bagi mereka yang memiliki gangguan kesehatan kritis dan sangat bergantung pada perawatan medis. Selain layanan kesehatan, ketersediaan konsumsi air dan listrik juga mengalami penurunan secara drastis sejak konflik Hamas-Israel skala besar dimulai pada 27 Oktober 2023.
Serangan Israel ke sebuah masjid dan sekolah di Jalur Gaza pada beberapa hari menjelang peringatan “Peristiwa 7 Oktober” telah menewaskan sekitar 45 orang yang berstatus sebagai pengungsi di kedua tempat perlindungan tersebut, dalam 2 hari gempuran. Terkait kejadian ini, Israel berdalih bahwa serangan mereka sudah tepat sasaran ke tempat yang diyakini sebagai pusat komando militer Hamas.
Kejadian tersebut sungguh menyedihkan sekaligus menambah ketegangan setelah beberapa hari sebelumnya terjadi peningkatan eskalasi konflik akibat keterlibatan Iran selaku patron bagi “Poros Perlawanan”.
Iran melakukan serangan langsung ke wilayah Israel dengan meluncurkan lebih dari 200 rudal yang mengenai beberapa sasaran. Sebelumnya Iran beberapa kali melakukan agitasi dan ancaman terhadap eksistensi Israel dan Amerika Serikat di Kawasan Timur Tengah.
Di samping itu, kelompok Hamas di Gaza, Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, serta beberapa kelompok militan Syiah di Irak dan Suriah juga masih terus melakukan serangan terhadap wilayah Israel. Hal ini menunjukkan bahwa Israel pun turut mengalami kerusakan infrastruktur di dalam negeri, meskipun tidak sebesar yang dialami Palestina.
Maka, makin nyata peribahasa mengenai konflik/perang, yakni “Menang jadi arang, kalah jadi abu” (tidak ada yang utuh menjadi kayu) atau kedua belah pihak sama-sama mengalami kerugian.
Menuju Negara Palestina yang Diakui Sedunia
Muncul harapan besar akan terwujudnya negara Palestina yang merdeka sepenuhnya (diakui secara de jure), setelah negara tersebut diberi hak baru untuk duduk di antara negara-negara anggota Majelis Umum PBB dalam sidang pada 10 September 2024. Peristiwa ini menunjukkan sebuah hak baru yang diberikan kepada delegasi Palestina di PBB, meskipun negaranya belum menjadi anggota penuh.
Hal ini tidak lepas dari kompromi atas usulan mayoritas negara anggota Majelis Umum PBB pada Mei 2024 untuk melakukan peninjauan kembali terhadap status keanggotaan Palestina di PBB agar segera dijadikan anggota penuh. Sebuah usulan yang kemudian dihalang-halangi oleh Amerika Serikat sebagai sekutu dekat Israel dan pemegang hak veto di PBB. Hasilnya, Majelis Umum PBB hanya memberikan hak-hak baru yang terbatas kepada delegasi Palestina dalam sebuah resolusi. Maka, delegasi Palestina dapat menghadiri sidang Majelis Umum PBB, namun tetap dikecualikan dari hak untuk dapat memilih (menentukan sikap secara formal) terhadap suatu resolusi dan belum dapat menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.
Sayangnya, wacana mengenai masa depan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat selama ini masih didominasi oleh suara dari kelompok mayoritas (Arab-Muslim) di internal Palestina. Sebutlah dua kelompok Arab-Muslim yang pro-kemerdekaan Palestina dan paling vokal terdengar suaranya, yakni Hamas dan Fatah (bagian dari gerakan Palestine Liberation Organization/PLO).
Hamas menginginkan bentuk Palestina Merdeka adalah Negara Islam yang menerapkan syariat-syariat agama sebagai hukum negara. Sementara Fatah lebih menginginkan negara sekuler dan berbasis nasionalisme Arab. Hal ini menjadi salah satu titik perbedaan pandangan bahkan konflik kepentingan mengenai masa depan negara Palestina merdeka di antara kedua kelompok tersebut selama beberapa dekade.
Hingga kemudian keduanya bersepakat untuk membentuk pemerintahan rekonsiliasi nasional (Pemerintahan Persatuan Palestina) pasca-perang melawan Israel, berdasarkan hasil pertemuan dan negosiasi yang ditengahi oleh Pemerintah Tiongkok di Beijing pada Juli 2024.