Mereka menuduh polisi dan pengadilan memproses kasus dengan korban laki-laki lebih baik daripada perempuan.
Kasus pelecehan dengan merekam (spycam) aktivitas pribadi perempuan di toilet dan kamar ganti pakaian biasa disebut dengan istilah 'molka' di Korsel. Kasusnya terus melonjak dari tahun ke tahun.
Pada 2010 ada 1.100 kasus spycam lalu melonjak menjadi 6.500 pada 2017. Kebanyakan pelaku mengunggah atau menjual foto atau hasil rekaman video syur ke internet.
Sekitar 98 persen pelakunya merupakan laki-laki, yakni mulai dari guru, dosen, polisi, bahkan pastor. Sementara 80 persen dari jumlah korbannya merupakan perempuan.
Terkait maraknya molka, Pemerintah Korsel sudah mendesak produsen smartphone untuk membuat produk dengan suara rana keras saat mengambil gambar. Namun banyak pelaku yang menyiasatinya yakni menggunakan aplikasi khusus yang bisa mematikan suara.
Selain itu mereka tak menggunakan telepon, melainkan kamera mata-mata berteknologi tinggi yang bisa disembunyikan di kacamata, korek api, jam tangan, kunci mobil, bahkan dasi.