Dara adalah gadis yang tumbuh di keluarga kaya raya, sayangnya Dara membutuhkan kursi roda untuk bisa beraktivitas sehingga dirinya sering merasa diacuhkan oleh keluarganya. Setiap hari, Dara menghabiskan waktunya menggambar taman yang bisa ia lihat dari jendela kamarnya.
Suatu hari, Dara jatuh dari kursi roda, tetapi tidak ada yang mau menolongnya. Kecewa dengan sikap keluarganya, Dara pun mencoba merangkak ke arah taman kompleks untuk menengakan diri.
Di taman, Dara melihat seorang gadis seusianya yang memiliki kondisi sama, gadis tersebut pun mengenalkan dirinya bernama Hana dan keduanya pun menjadi akrab dengan satu sama lain.
Ketika bercengkrama, Hana berkata, “Dara, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang terlahir sia-sia. Mungkin kita tidak bisa berdiri tegak layaknya manusia lain. Namun, kita masih punya hak untuk merasakan bahagia. Cobalah untuk menerima dirimu sendiri, Dara.”
Dara pun merenungi dan mencerna perkataan Hana, kemudian dia mencoba mewujudkan mimpinya menjadi pelukis meski tidak bisa berdiri tegak. Perlahan, Dara berhasil mewujudkan mimpinya dan lukisannya pun bisa dipajang di pameran besar.
Ketika masuk SMP, aku bersahabat dengan Jasmine. Pertemanan kita berawal ketika aku pingsan di jam olahraga. Sebelum pingsan, Jasmine sempat bertanya kepaku “Kamu tampak lemas, mau kupanggilkan guru untuk dibawa ke UKS?”
Aku yang berusaha terlihat kuat pun menjawab tidak dan memaksakan mengikuti kelas olahraga. Jasmine yang merasa aku sedang tak sehat pun memanggil guru untuk memberitahukan bahwa aku akan segera pingsan. Benar saja, aku pingsan dan dibawa oleh guru olahraga ke ruang UKS.
Setelah kembali ke kelas, aku berterima kasih ke Jasmine dan kita pun mulai akrab. Tiga tahun sudah aku dan Jasmine menjalin persahabatan, tetapi setelah lulus SMP, Jasmine mengikuti orang tuanya dan pindah ke Jakarta.
Mendengar kabar itu, aku sangat sedih karena tidak bisa berkomunikasi langsung dengan Jasmine. Setelah lulus SMA, aku mencoba berkomunikasi lagi ke Jasmine menggunakan surat.
Di akhir surat, aku menulis dengan penuh harap, “Apakah kita bisa bertemu kembali di universitas yang sama?”
Pagi itu aku yang sedang sarapan dengan tenang tiba-tiba tersendak karena melihat jam sudah pukul 7. Aku menggoes sepeda. Sialnya gerbang sekolah sudah ditutup dan pak satpam dengan wajah kesal berkata padaku di balik gerbang.
Lalu dibukakannya pintu gerbang itu, namun aku dan beberapa murid lain dihukum dengan berdiri di lapangan basket sampai jam pertama selesai. Aku melirik pos satpam, sebuah tempat dimana laki-laki itu setiap pagi datang dan bekerja sampai sore hari tiba.
Namanya adalah Pak Asep, tapi anak-anak sering memanggilnya “Mang Oray”, entah aku tak tau siapa pencetus panggilan tersebut pada Pak Asep. Dia sangat popular di SMA Negeri 1 karena dekat dan ramah dengan murid-murid, khususnya murid laki-laki.
Lama setelah itu aku juga semakin akrab dengan satpam tersebut, yang kawan-kawanku selalu memanggilnya Mang Oray. Pernah suatu ketika dia menceritakan kepadaku dan kawan-kawanku tentang dia sewaktu seusia kami.
“Dulu, Mamang pernah sekolah seperti kalian. Tapi mamang tidak bisa melanjutkannya hingga selesai, karena orang tua mamang tidak bisa membiayainya” imbuh dia dengan senyum menutupi.
“Kalian, harus memanfaatkan kesempatan kalian untuk mengais ilmu disini, makanya mamang suka marah pada kalian yang suka terlambat masuk” sambungnya.
Dia kemudian melanjutkan ceritanya. Ternyata di rumahnya dia menyediakan perpustakaan mini untuk para tetangganya yang ingin sekolah namun terkendala ekonomi keluarga. Aku pun sangat kagum dengan perjuangan Pak Asep. Ditengah biaya hidup yang semakin susah, kulit kian keriput serta rambut kian memutih, dia masih bisa membantu orang-orang di sekitarnya. Terimakasih, Pak.
Demikianlah informasi dan penjelasan mengenai contoh cerpen pendidikan singkat yang dikutip dari berbagai sumber, semoga bisa menjadi acuan dalam membuat cerpen singkat.