Faktor kedua adalah kewajiban pemerintah terkait dengan program B30. Program B30 adalah program di mana pencampuran 30 persen diesel dengan 70 persen bahan bakar minyak jenis solar.
“Ada peralihan menuju ke produksi biodiesel,” ucapnya.
Saat ini, kata Rossanto, konsumsi yang seharusnya digunakan untuk minyak goreng malah digunakan untuk produksi biodiesel. Hal itu karena ada kewajiban untuk pengusaha CPO agar memenuhi market produksi biodiesel sebesar 30 persen.
Faktor ketiga kelangkaan minyak goreng di Indonesia adalah kondisi pandemi Covid-19 yang belum selesai. Bahkan, ada beberapa negara di belahan dunia lain yang sedang mengalami gelombang ketiga Covid-19.
Konsumen luar negeri yang selama ini menggunakan minyak nabati juga mulai beralih ke CPO. “Sehingga ada kenaikan permintaan di luar negeri terkait ekspor CPO,” ujar Rossanto.
Rossanto menekankan bahwa produsen minyak goreng hanya ada di beberapa daerah saja. Sedangkan, proses distribusi minyak goreng dilakukan ke berbagai daerah di Indonesia sehingga terjadi kenaikan harga distribusi.
Berkaitan dengan logistik, harga kontainer saat ini lebih mahal dari sebelumnya. Shipping atau perkapalan juga mengalami kenaikan harga. Faktor itu mendorong harga kebutuhan minyak goreng mengalami kenaikan.
Rossanto mengungkapkan, naiknya harga minyak goreng akan mendorong inflasi secara umum. Dampak yang ditimbulkan dapat memengaruhi beberapa sektor, di antaranya sektor industri makanan, rumah tangga, dan semua produksi yang menggunakan bahan baku minyak goreng.
“Oleh karena itu dampaknya juga akan lebih terasa terhadap inflasi terutama dari segi IHK,” tutup dia.