JAKARTA, iNews.id - Rentetan aksi peledakan bom di Surabaya mengharuskan aparat keamanan bekerja keras untuk menjaga keamanan di dalam negeri. Polri juga dituntut meningkatkan fungsi intelijen dan keamanan (intelkam) agar aksi serupa tidak terulang.
Anggota Komisi III DPR Aboebakar Alhabsy mengusulkan agar Pemerintah melalui Polri dan lembaga penegakan hukum lainnya meningkatkan fungsi intelijen dan keamanan. "Peningkatan fungsi intelkam diperlukan untuk mengantisipasi setiap gangguan keamanan yang akan terjadi," kata Aboebakar Alhabsy, di Jakarta, Senin (14/5/2018).
Menurut Aboebakar, deteksi dini oleh intelijen dan pencegahan yang cepat menjadi kunci penanganan aksi terorisme di Indonesia. Terlebih lagi, polisi sudah bisa mengurai jaringan para teroris yang bergerak di Surabaya, Bekasi, dan Cianjur. Mereka masuk jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berhubungan dengan kelompok ISIS.
"Hal ini perlu melibatkan sinergi antarinstitusi negara yang terkait, yakni Polri, TNI, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), maupun BIN (Badan Intelijen Negara)," katanya.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan, Menko Polhukam Wiranto, harus bekerja lebih keras untuk mengoordinasikan kerja lintas lembaga tersebut. "Aksi bom bunuh diri ini adalah tindakan tidak beradab dan tidak dibenarkan oleh ajaran agama apa pun," katanya.
Dari rentetan serangan bom di Surabaya, polisi langsung menyergap sejumlah teroris yang masih berkeliaran di Jawa Timur. Densus 88 sudah menangkap delapan teroris di Surabaya dan Sidoarjo. Mereka diamankan sesaat sebelum melakukan aksi teror lanjutan di Jatim.
Kedelapan terduga teroris tersebut merupakan anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya pimpinan Dita Oepriyanto, pelaku pengeboman di Gereja Pantekosta, Minggu (13/5/2018). Penindakan itu dilakukan di tiga lokasi, yakni Sukodono, Sidoarjo; Jembatan Merah, Surabaya; dan terakhir satu teroris ditangkap di Jalan Ahmad Yani Surabaya.