“Salam tiga jari selamatkan demokrasi,” demikian lirik barunya.
Atikoh juga melakukan dialog dengan warga Madiun maupun simpatisan yang menyambutnya. Dia ditanya soal penyandang disabilitas yang kerap masih belum mendapat tempat di dunia kerja. Bagaimana jawaban Atikoh?
Perempuan lulusan UGM dan Tokyo University tersebut menjelaskan pengetahuannya yang luas mengenai pemberdayaan kaum difabel. Dia mengatakan bagaimana biasanya para anak penderita telah mendidik dirinya atau dididik sesuai bakatnya.
Misalnya, tunanetra bisa mengarahkan diri untuk pengembangan kemampuan vokal. Yang disable di sisi fisik, biasanya diarahkan pengembangan diri di bidang lain, contohnya kemampuan di belakang layar seperti kemampuan IT.
Dari sisi afirmasi terhadap penyandang disabilitas, Atikoh mengatakan bahwa sudah ada payung hukumnya. Namun dalam pelaksanaan masih kurang maksimal.
Pertama, perekrutan kaum difabel dalam dunia kerja masih sebatas formalitas tanpa ada upaya lebih jauh menggali potensi.
Kedua, baginya kewajiban bagi perusahaan merekrut penyandang disabilitas itu benar-benar diperkuat. Sehingga kuotanya benar-benar membesar dan dilibatkan.
“Ketika kita diskusi sama teman teman disabilitas juga mengatakan, ‘mbokyao ketika ada kegiatan-kegiatan mereka itu juga dilibatkan. Ketika ada diskusi-diskusi untuk perumusan kebijakan, sehingga mereka bisa memberikan masukan-masukan,” urai Atikoh.