Dia tercatat bersekolah di beberapa pesantren di Jawa Timur sepulang dari Makkah dan Madinah. Beberapa pesantren yang menjadi tempatnya menimba ilmu antara lain Pondok Pesantren Bungkuk yang dipimpin oleh KH Nachrowi Thohir, Pesantren Sono di Buduran, Sidoarjo, dan Pesantren Siwalan di Panji, Sidoarjo. Dia mendalami ilmu nahwu sharaf.
KH Masykur sangat tekun dalam mengejar ilmu. Selama 4 tahun, dia menempuh pendidikan di Pesantren Siwalan Panci, Jawa Timur, dan kemudian melanjutkan studinya di Pesantren Tebuireng selama kurang lebih 2 tahun.
Dia juga menimba ilmu di Pesantren KH Khalil Bangkalan, Madura, selama 1 tahun, dan berkuliah di Madrasah Mamba'ul Ulum Jamsaren, Solo, selama 7 tahun.
Pendidikan dia juga melintasi berbagai wilayah di Indonesia. Di Jawa Barat, dia menempuh pendidikan di Pesantren Ngamplang, Garut, selama 2 tahun.
Semangat dia dalam mengejar ilmu sangat mengesankan dan keberhasilan dalam menyelesaikan pendidikan dari berbagai pesantren ternama di Indonesia menunjukkan dedikasi dan ketekunan dia.
Selama masa penjajahan Jepang, KH Masykur bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), organisasi paramiliter yang dibentuk oleh pemerintah Dai Nippon. PETA kemudian menjadi salah satu unsur utama yang membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI).
KH Masykur aktif terlibat dalam perjuangan melawan penjajahan. Saat itu dia juga terlibat dalam berbagai gerakan perjuangan dengan mengomandoi Laskar Sabilillah bersama Laskar Hizbullah yang terlibat dalam Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.
Saat Indonesia merdeka dan menghadapi ancaman Agresi Militer Belanda, KH Masykur terlibat dalam perjuangan bersama dengan TNI dalam menjaga kemerdekaan Indonesia. Keandalan dia dalam berbagai bidang, baik ilmu agama maupun kemiliteran, membuatnya menjadi salah satu tokoh yang sangat dihormati dalam perjuangan tersebut.