Saat pertama kali diberitahukan bahwa Setnov akan datang, dia pun berselancar di internet. Dia akhirnya tahu, ternyata KPK sedang menggeledah rumah Setnov. "Jadi ini orang yang sedang dicari. Saya tahu hari itu Setnov masuk dalam DPO (daftar pencarian orang), lalu untuk orang yang sudah terdaftar ke DPO dan minta dibuat keterangan kecelakaan mobil, saya secara logis berpikir ini tidak beres, tidak benar ini, saya tidak mau," kata Michael.
Sebagai dokter yang bertugas jaga pada 16 November 2017 malam, Michael pun mencoba menghubungi Plt Manajer Pelayanan Medik RS Medika Permata Hijau dr Alia untuk berkonsultasi. "Saya coba telepon lagi dokter Alia pakai telepon saya. Saya katakan ada pengacara minta dirawat dengan kecelakaan mobil, saya tidak mau bohong-bohong kepada KPK begini. Lebih baik saya pulang, dokter Alia menjawab 'Saya tidak minta dokter Michael untuk berbohong tapi kalau dia perlu dirawat ya rawat. Kalau tidak perlu dirawat ya pulangkan'," ungkap Michael.
Lalu pada pukul 18.30 WIB, dokter Bimanesh datang dan menanyakan kehadiran Setnov dan mengambil surat keterangan harian dokter dan menuliskan di situ dengan diagnosa hipertensi, vertigo, dan diabetes melitus. Selanjutnya Bimanesh mengambil surat keterangan rawat inap di ruangan IGD.
"Dia katakan 'nanti kalau pasiennya langsung dinaikkan ke ruang lantai tiga VIP', lalu ada satpam minta pinjam selimut dan bantal katanya 'pasien SN datang'. Saya bilang ke perawat IGD nanti 'pasiennya langsung dinaikkan ke ruang VIP lantai tiga tidak melalui IGD'. Saya tetap stand by di sana. Baru besok pagi saya lepas peran tersebut," kata Michael.
Michael pun meyakini bahwa Fredrich yang datang meminta kepadanya agar Setnov langsung dirawat inap. "Pin advokatnya mungkin dipakai, waktu datang pakai baju warna hitam cuma yang paling jelas tim advokat itu karena waktu itu dia tidak memperkenalkan nama," ungkap Michael. Selesai mendengarkan keterangan Michael, pada sidang selanjutnya, JPU menghadirkan alat bukti CCTV.
Fredrich didakwa pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi.