Rasa nyaman ini disebabkan karena konsep diri yang merasa kurang di lingkungannya. Di ranah virtual, orang bisa lebih leluasa menciptakan karakter dirinya sesuai yang diinginkan lewat berbagai fasilitas yang memang dibuat untuk itu seperti filter wajah dan sebagainya.
Mereka, lanjut Putri, juga bisa memilih lingkungan yang sefrekuensi atau yang sesuai dengan minat-hobinya. Apalagi, di lingkungan virtualnya itu mereka bisa nonton atau game bareng tanpa harus ditanya kapan nikah, kapan wisuda, kapan kerja.
Pacaran virtual ini memang ada yang sampai ke pelaminan dan itu baik-baik saja. Namun, ada juga kasus yang justru sebaliknya.
"Kalau kita kembali ke pola perilaku berpacaran baik itu langsung atau virtual tetap memiliki risiko yang perlu dipikirkan dan dipertimbangkan baik-baik," ucap wanita sekaligus peneliti bidang Gender dan Anak ini dikutip Kamis (8/6/2023).
Masalahnya, Putri menyoroti kasus pacaran virtual memiliki risiko, seperti jejak digital yang justru membahayakan. Selain itu, pacaran virtual juga berisiko munculnya tindakan kekerasan seksual.
Bahkan, PKKS Unesa punya pengalaman menerima beberapa klien yang mengeluhkan jejak digital yang masih tertinggal di pasangan mereka. Itu jadi beban buat perempuan di banyak kasus, foto atau videonya dijadikan alat pemerasan atau untuk perilaku paksaan (ancaman) lainnya.