Penilaian berbeda disampaikan pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, Emrus Sihombing. Menurutnya, grup WA bagian dari media sosial yang mana di dalamnya ada komunikasi satu dengan yang lain yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi.
Padahal dalam komunikasi, ada tiga hal yang harus diperhatikan yakni to educate (harus ada fungsi mendidikan), to inform (ada fungsi menyampaikan informasi), dan to entertain (menghibur).
”Karena itu, interaksi sosial dalam membangun realitas sosial tidak tepat jika diisi dengan penyebaran hoaks. Kalau kita kembali pada fungsi komunikasi maka langkah-langkah (patroli grup WA) itu saya termasuk yang mendukung,” ujarnya.
Polri sebelumnya berencana melakukan patroli grup WA. Namun patroli itu hanya menyasar grup-grup penyebar hoaks.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Humas Mabes Polri, Kombes Pol Asep Adi Saputra menjelaskan, Ditipid Siber Bareskrim Polri tidak langsung masuk dan mengawasi percakapan setiap grup WA.
Patroli itu harus dimulai setalah adanya penyebaran hoaks oleh sebuah grup WA yang ditangkap layar (capture/screenshot) dan kemudian disebarkan ke media sosial (medsos).
“Jadi di dalam medsos itu kan ada yang bersifat tertutup dan terbuka. Jadi ketika di medsos yang tertutup itu seperti WA lalu di-capture ke beberapa platform yang terbuka seperti Facebook, itu menjadi mudah untuk dilakukan penyelidikan,” kata Asep di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Selasa (18/6/2019).